Saturday, June 16, 2012

Ryan Tears part 5


“oke, hari ini kita latihan passing. Seperti biasa kalian latihan passing ditempat dulu saja. Nanti baru passing ke temannya. Silahkan cari pasangan dan ambil bola”, jelas Pak Markus. Seperti biasa, Kay langsung bergabung dengan Tisha.
“siapa duluan?”, tanya Tisha yang sudah kembali setelah mengambil bola di keranjang. Kay hanya nyengir kuda untuk menjawabnya. Tisha langsung melengos melihat respon tersebut.
“kenapa harus gue duluan terus sih?”, gerutunya.
“kan elo tau, Tish gue itu bego banget soal ini. hehe”. Yup, nggak bisa dipungkiri kalo temen Kay yang satu ini adalah pakarnya voli dan Kay adalah sampahnya voli.
“nih giliran lo!”, ucap Tisha sambil melempar bola ke arah Kay. Kay segera menerimanya dengan sigap—secara .. kapten basket gitu.
“cepet banget lo udah dapet lima puluh? Ini kan satu menit belum ada?!!”, seru Kay histeris.
“udah deh bawel cepet kerjain tuh tugas lo”. Kay hanya manyun dan menatap bola yang dipegangnya kini. Ia menghela nafas kemudian bersiap untuk melemparkan benda bulat itu ke atas. Namun Kay segera mengurungkan niatnya.
“elo ngapa berdiri di depan gue?!”, seru Kay naik pitam saat tiba-tiba Ryan berdiri di depannya dengan bersedekap tangan.
“nggak, gue cuma mau liat elo aja”, ucap Ryan dengan lembut. Alis Kay saling bertaut. Kenapa Ryan bisa ngomong selembut itu?. buat liat gue?? Maksudnya ...
“gue mau liat, emang elo mampu??”, ucap Ryan sambil mengangkat kedua alisnya dengan tampang pongah. Mulut Kay langsung menganga lebar. Apa maksud omongannya tadi??. Emang-elo-mampu? Mampu?? MAMPU?. Dia kira gue selemah itu apa?!. Sumpah, kurang ajar banget ni cowok!!!.
“elo!!”, ucap Kay sambil mengacungkan telunjuknya di depan muka Ryan. Ryan malah menampilkan sebuah senyum licik dan pergi dari tempat itu. arrggghhh!! dasar elo seta ..
Kay secepat kilat menghapus air matanya. Ahh .. apaan sih nih? Buat apa gue nangisin cowok songong kayak dia?!!
ê
“Duh, tempat minum gue kemana sih?”, ucap Kay sambil terus mengaduk-aduk isi tasnya.
o.. iya! Gue lupa!”, seru Kay kaget seraya menghentikan langkahnya.
“apaan?”, seru Angel, teman satu timnya.
“tempat minum gue ketinggalan di GOR !”, ucapnya sambil berlari.
“Kita jalan duluan ya!” teriak Angel dari kejauhan. Kay hanya mengangkat ibu jarinya keatas, tanda setuju.
Sekembalinya ia ke GOR, keadaan sudah hening. Beginilah suasana di GOR setelah selesai latihan basket. Ia menapakan kaki di depan pintu ruangan tersebut dan segera membukanya. Ia menengok ke seluruh penjuru ruangan, tak ada siapa-siapa. “Nah, itu dia!” seru Kay girang saat melihat tempat minum hijau bercorak bintang kesayangannya. Ternyata benda itu teronggok diujung kursi pemain dekat pintu masuk. Kay segera mengambil tempat minum itu kemudian melangkah ke luar GOR.
Baru saja Kay menggerakan kakinya beberapa langkah keluar dari GOR, tiba-tiba hidungnya terasa sakit. Panas dan perih!. Ia dapat merasakan ada cairan yang keluar dari hidungnya perlahan-lahan. Ia memegang hidungnya untuk memastikan apa yang sedang terjadi. “Shit, darah!”, Kay terhenyak. Ia langsung duduk di tangga didekatnya—satu-satunya tempat yang paling mudah dijangkaunya. Ia mencoba untuk tenang. Tak tahu kenapa, dari kecil Kay selalu panik kalau mimisan. Kay menundukan kepalanya, berharap kesakitan dan kepanikannya hilang. Ia dapat melihat semakin lama darahnya menetes makin deras.
ê
“coba kalo sepupu gue nggak cerewet kayak Mitha. Hoh! dasar deh tu anak lebay, cuma novel begituan aja yang ketinggalan pake ngamuk-ngamuk. Suruh ambil ke sekolah segala lagi. Harusnya kan gue menikmati masa-masa liburan yang indah”, gerutu Ryan. Hari ini ia berniat—sebenarnya kalau nggak dipaksa Mitha dia juga nggak bakal minat—untuk mengambil buku kakak sepupunya yang ketinggalan di GOR waktu pelajaran olahraga kemarin.
Kemarin Mitha ngamuk-ngamuk ke Ryan karna novel kesayangannya yang dipinjam Ryan —katanya sih buat bikin tugas, tapi Mitha nggak yakin juga. Sejak kapan tu anak rajin banget?— malah ditinggal gitu aja di Gedung Olahraga.
“itu novel romantiiiissss banget, Ryan”, ucap Mitha dengan wajah yang berbunga-bunga dan nada sok dramatis. Ryan mengangkat alisnya heran melihat sepupunya yang menjadi korban roman picisan itu.
“jadi, loe harus balikin novel itu jangan sampe ilang!!. loe harus ambil di sekolah besok!”, jelas Mitha menggebu-gebu.
“eeh .. nggak bisa dong!. Tommorow is Saturday, do you remember that??. Itu artinya gue libur!”, sergah Ryan membela diri.
heh bule kacangan, gue nggak mau tau!. Salah elo dong ninggalin tu novel di GOR. Pokoknya harus ambil besok atau loe harus ganti tu novel pake uang jajan lu selama sebulan!”, ujar Mitha yang kemudian pergi.
“sepi banget?. Bukannya hari ini ada latihan basket ya katanya?”, ujar Ryan saat ia mulai dekat dengan GOR. Langkahnya terhenti melihat sesosok gadis yang terduduk di tangga. “Kay? Napa lagi tu monyet?”, batinnya. Ia pun melangkah perlahan mendekatinya. Semakin dekat ke arahnya, Ryan melihat bercak darah berceceran di sekitar Kay. Dahinya berkerut panik. Ia berhenti dihadapan Kay. Mengamatinya beberapa saat untuk mengetahui apa yang terjadi pada gadis ini.
dari kecil dia selalu panik kalo mimisan..
Kalimat itu seketika terbesit dalam ingatan Ryan. Ia merogoh sakunya. Menyodorkan sebuah sapu tangan warna biru langit kesayangannya pada Kay. Kay langsung menyambar sapu tangan itu dan membersihkan darah yang mengalir tanpa menatap pemilik sapu tangan itu. Ryan bisa mendengar perlahan-lahan nafas Kay menjadi stabil. Jangan takut Kay, selama ada aku kamu aman, ucap hati kecil Ryan.
“makas ..”, Kay membelalakan matanya saat melihat Ryan. Amarah Kay langsung meledak melihat setan jadi-jadian di depannya ini—ingat saja, walaupun Ryan baru saja menolongnya tapi itu nggak akan menghapuskan kata ‘emang elo mampu’-nya si Rian kemarin. Nggak akan!.
Tetapi, saat mata mereka bersetatap, seketika amarah itu berubah menjadi rindu yang teramat dalam. Kay tenggelam dalam mata itu. Ia dapat melihat keteduhan disana. Tatapan yang sama. Tatapan masa lalu yang selalu menghangatkan relung hatinya itu kini berada dihadapannya. Ia seperti kembali. Masa lalu yang telah dipendamnya dalam-dalam seketika menyelimuti benaknya. Jakarta .. 5 tahun lalu .. tawanya yang khas .. sosok itu ..
“apa liatin gue? Tampang elo tu bloon!”, ucap Ryan ketus seraya melangkah meninggalkan Kay. Kay hanya diam. Kalo ini dirinya yang asli ia pasti dia udah menjak-menjak sambil mulut maju mundur mengomeli si Ryan. Tapi kali ini Kay membungkam. Ada sesuatu yang berdesir di dalam hatinya. Ia seperti tidak rela Ryan meninggalkannya. Ada yang mendorongnya untuk mencegah Ryan beranjak.
Ryan membalikkan badan dan menatap tangan Kay. Kay segera melepas genggamannya. Ia tertegun, ia tidak tahu kenapa ia bisa melakukan hal itu. Itu seperti refleks!.
Keadaan menjadi hening. Kay menggigit bibirnya. Ia tak mengerti akan perasaannya saat ini. sosok dihadapannya ini .. ia seperti datang untuk menghancurkan pondasi hatinya. Membuka masa lalu kelamnya. Dan menghujamnya lebih sakit lagi. Kenangan itu seperti kembali dalam wujud nyata. Berusaha membelitnya lebih kuat. Berusaha melenyapkan kekuatan Kay untuk membuka lembaran hidup yang baru dan lepas dari belenggu masa lalu itu.
ê
Ryan membalikkan badan saat merasakan tangannya tertahan. Ia menatapi jemari Kayla yang tengah menahan tangannya. Entah kenapa, jantungnya sempat berdegup lebih cepat. Tiba-tiba, Kay melepas genggaman tangannya secepat kilat. Dan secepat itu pula, terbesit sedikit perasaan kecewa di hati Ryan.
Gadis yang terduduk dihadapannya itu kini hanya terdiam. Kepalanya tertunduk cukup lama. Ryan tak tahu apa yang tengah terjadi pada Kay, ia pun memutuskan untuk tetap diam. Tapi melihat Kay yang terus terdiam membuatnya merasa khawatir. Ia pun berjongkok untuk menyejajarkan tubuhnya didepan Kay yang masih menunduk lemas. “Kay..”, gumam Ryan pelan. Ryan kaget sendiri menyadari dirinya menggumamkan nama itu. Kay mengangkat kepala. Kay menatap lurus ke arah matanya. Sekilas Ryan dapat melihat kilatan putus asa di mata Kay. Dan sedetik kemudian setetes air mata bergulir. Hati Ryan serasa terhujam saat melihat tetes air mata Kay. Seketika tangannya bergerak dan mengusap air mata Kay.
Dengan cepat Kay segera berkilah. Badannya sedikit gemetar. Entah, Ryan tak tahu apa. Kayla seperti ketakutan.
“jangan pegang gue!”, ucap Kay ketus. Kemudian berdiri dan segera meninggalkan Ryan. Ryan hanya memejamkan mata saat Kay melangkah pergi. Oh damn! What’s happened with me?, umpat Ryan dalam hati.
ê
Kay mengguling-gulingkan badannya diatas kasur, menandakan hati dan pikirannya yang nggak keruan. Otaknya kini bak sebuah gedung opera yang tengah memainkan permainan teatrikal yang terjadi tadi siang. Antara ia dan Ryan. Ryan, siapa sih dia?. Kay sama sekali nggak ngerti gimana jalan pikiran cowok itu. Cowok aneh. Kadang ia begitu ketus, nggak berperasaan, tapi ia bisa dengan mudah berubah menjadi Ryan yang lain. Yang perhatian, lembut, dan kadang overprotective. Fine, gue nggak peduli dia punya kepribadian ganda atau gimana, batin Kay. Tapi ada satu hal yang tak bisa Kay enyahkan dalam pikirannya tentang Ryan. Tatapan matanya. Hal itu. Tatapan yang membangkitkan semua kenangan lampau yang telah ia kubur dalam-dalam. Bahkan ia tak hanya membangkitkan masa lalu sialan itu, tapi Ryan pula yang secara perlahan membuat benteng pertahanan Kay yang telah ia bangun diatas kenangan itu menjadi retak. Sedikit demi sedikit.
Kay memejamkan matanya dan melipat bibir. Ryan .. ryan .. ryan .. . Kenapa ia bisa begitu mudahnya menangis hanya dengan sepasang manik mata itu?. Kay merasakan sudut-sudut hatinya tertusuk saat ia mengingat cara Ryan menatapnya. Dan seketika itu pula masa lalu itu berputar kembali.
“asal kamu bisa senyum itu udah bikin aku enggak capek kok ..”, ujarnya sambil tersenyum ke arahku. Sudut-sudut bibirku membentuk sebuah senyuman manis. Aku memandanginya yang mengayuh sepeda sambil memboncengkanku. Dia memang begitu mengerti aku. Ia mau lakukan apa saja untukku sekalipun aku tak memintanya.
Kay menggigit bibirnya. Ia tak sanggup dan tak mau untuk mengingat kejadian berikutnya. Ia dapat merasakan matanya yang memanas. Kay bukanlah gadis yang lemah, hanya saja inilah kelemahannya. Dan hanya hal inilah yang dapat membuatnya menangis.
Ia turun dari tempat tidurnya menuju ke lemari bajunya. Ia segera membuka laci tersembunyi yang ada di lemari itu dan mengambil sebuah kotak usang miliknya. Kotak yang sama dengan yang dimiliki oleh seseorang yang kini entah dimana. Kay menghela nafas penyesalannya untuk kesekian kali. Maafkan aku ..


Older part :
Ryan Tears part 4

No comments:

Post a Comment