Saturday, May 11, 2013

Filiamore



Warna jingga mulai merasuki tiap sudut langit saat kedua insan itu duduk dalam sebuah kedai kopi kecil di sudut kota. Para pecinta kopi semakin banyak memenuhi ruangan berdinding bata itu. Tak heran, tempat ini memang cocok untuk menghabiskan senja hari. Itulah mungkin alasan kenapa dinamai “Senja Coffee”. Tapi sekarang berbeda, senja indah hari ini ternyata tak lebih menarik daripada percakapan mereka disela-sela sesapan kopi.
“Pernah dengar cinta terlarang?”. Pertanyaan itu membuat satu alisnya terangkat.
“Cinta pada ipar sendiri maksudmu? Yang seperti di salah satu video clip musik?. Atau cinta sesama jenis? Homoseksual dan lesbian itu?”
Calvin menyesap kopinya pelan, lalu tersenyum tipis sebelum menjawab pertanyaan itu. “Bisa jadi. Tapi yang ini tidak sebasi itu”
“Maksudmu?”
Calvin menggigit bibirnya, tampak sedang berpikir. “Ini tentang… aku”. Kening Callista berkerut menanggapinya. “Dulu”
Alis Callista terangkat makin tinggi. “Baik, ada apa dengan kau yang dulu dan cinta terlarang itu?”. Calvin menautkan kedua tangannya. Tampaknya ini memang bukan sebuah kisah cinta terlarang masa lalu yang sebasi ia sebutkan tadi. Karna dilihatnya Calvin seperti agak berat menceritakannya.
Tiba-tiba Calvin mendesah pelan dan menatapnya dalam..
Siapa lagi yang akan menolak jika ditawari bertukar nasib dengan seorang Calvin Cendra?. Anak konglomerat yang tak pernah kehabisan uang, pemilik otak cerdas ber-IQ very superior, seorang pianis muda sekaligus seorang kapten basket. Calvin, ia jugalah pemilik paras malaikat yang begitu memukau itu. Tak hanya memukau, ia bahkan sanggup melelehkanmu saking tampannya. Dua manik mata beningnya begitu dalam hingga mampu membuatmu betah tenggelam lama-lama didalamnya. Alisnya tebal, kulit tanned-nya memberikan kesan yang begitu maskulin, badannya pun ideal. Tak heran begitu banyak gadis yang jatuh bangun mengejarnya.
“Satu lagi dari fans”, Dito melemparkan sebotol minuman dingin pada Calvin yang tengah mengelap keringatnya dengan handuk sehabis latihan basket. Ditangkapnya botol itu dengan sigap. Calvin hanya menatap Dito dengan sebuah pesan tersirat. “Melody”, Dito menjawab pesan tersirat Calvin yang menanyakan siapa pengirimnya. Kening Calvin berkerut, lalu dibukanya botol dan diteguknya besar-besar minuman itu. Arghh… “Yang mana lagi tuh?”, tanyanya setelah menuntaskan minumnya.
“Oke, pertanyaanmu itu membuatku muak. Ini fansmu yang terlalu banyak atau kau yang pura-pura tak mengenali mereka lagi?”. Calvin melengos saat Dito menekankan pengucapannya pada kata ‘lagi’.
“Banyak cakap. Yang mana orangnya?”
“Itu”, Dito menunjuk ke arah pintu keluar gedung olahraga diikuti dengan tatapan Calvin yang menelusurinya. Ternyata seorang gadis berseragam cheerleader tengah berdiri disana. Tadi Calvin melihat gadis itu sempat menatap kearahnya sekilas, tapi kini ia telah memalingkan tatapannya kearah lain dengan gestur yang salah tingkah. “Jangan bilang padaku kalau kau juga tak tahu bahwa dia adalah kapten cheers sekolah ini”. Calvin hanya mengendikan bahu.
“Argh!”, Dito mengerang gemas melihat respon temannya itu. “Kalau tidak mau, kasih ke aku saja!. Daripada mubazir, cewek secantik itu dibuang-buang”
Calvin tertawa  geli melihat tingkah teman satu timnya yang sudah kelewat lebay untuk ukuran anak lelaki. “Ambil saja. Bosan aku dengan tipe-tipe seperti itu”
Are you kidding me?. Kau bosan?. Oh baiklah, you have everything, and I would never forget that thing”
“Haha. Parah!. Aku tahu kau sudah mengincarnya sejak kita di kelas sepuluh dulu, iya kan?. Tak usah frustasi begitu, aku tak akan merebut apa yang temanku inginkan”, Calvin menepuk pundak Dito ringan. Sementara Dito menatapnya dengan tatapan aneh. Ia ingin mengelak pernyataan Calvin tapi itu terlalu fakta untuk disanggah. “Lagi pula dia memang bukan tipeku”, Calvin menambahkan.
“Lalu seperti apa tipemu?”. Pertanyaan iseng Dito itu berhasil membuatnya terbungkam sendiri.
To: Rectroverso
Hai, Cyber avatar. Ini terasa aneh. Entah aneh karna saya bercerita dengan penghuni dunia maya yang tak saya ketahui seperti apa rupanya atau perasaan yang saya rasakan?. Saya seorang remaja laki-laki, berusia 18 tahun. Saya memiliki segalanya. Harta, otak, tampang, juga penggemar. Hanya saja para gadis itu membosankan dan tak ada yang menarik. Inikah kurangnya? Saya tak memiliki cinta, semua ini terasa basi.
<send>
Tidak dibalas.
Cyber Avatar. Makhluk dunia maya yang tak perlu menjadi nyata untuk menjadi teman bercerita Calvin. Dan Calvin pun tak berharap ia menjadi nyata karna ia lebih baik terus menjadi penghuni dunia maya yang dibiarkannya mengetahui rahasia terdalam di lubuk hatinya.
To: Rectroverso
Masih ingat saya, Rectroverso?. Saya yang mengatakan bahwa hidup saya terasa basi. Kali ini akan saya tarik ucapan itu. Berbulan lalu, saya bertemu lagi dengan seorang perempuan, ia salah satu yang mengejar saya. Namanya Melody. Ia memang cantik, tapi bukan ia yang membuat saya menarik kata basi itu. Gadis kecil disebelahnya lah pelakunya. Itu adiknya, Nada. Saya begitu tertarik dengannya. Ia anak kecil yang lucu dan menggemaskan. Tapi yang membuat saya bingung adalah kenapa jantung saya berdebar-bedar saat melihatnya?
<send>
Tidak dibalas.
To: Rectroverso
Rectroverso, apakah saya memang terlahir untuk mendekati sebuah kesempurnaan? Bukankah begitu? Saya memiliki cinta sekarang. YA, SAYA MERASA SEMPURNA. HAHA!.
<send>
Tidak dibalas.
To: Rectroverso
Rectroverso! Kenapa kau tidak pernah membalas e-mail saya?. Ini semakin gila, kau tahu?. Saya jatuh cinta.. kepada anak perempuan lugu berumur 7 tahun. Nada.. Nada.. Nada.. . Dia memang seperti nada-nada cinta merdu yang dengan lincah memainkan debar jantung saya. Saya mendekati Melody, kakaknya, gadis yang mengejar-ngejar saya itu. Tapi itu semata hanya kedok bagi saya untuk dapat menjadi lebih dekat dengan si kecil Nada. Benarkah saya?. Saya harus bagaimana?
<send>
Calvin menghempaskan punggungnya di sandaran kursi. Ia sangat berharap e-mailnya yang kesekian kali ini akan dibalas. Ia sudah cukup merasa gila dengan jatuh cinta pada seorang anak kecil. Dan Cyber Avatar.. Calvin hanya tidak tahu harus menceritakan ini kepada siapa di dunia yang rasional ini. Benarkah saya?. Pertanyaan yang ia lontarkan tadi memenuhi benaknya sendiri. Pertanyaan retoris.
From: Rectroverso
Saya diam karna saya hanya ingin menjadi penikmat cerita anda sejenak dan menebak-nebak apa yang terjadi selanjutnya. Ternyata satu dugaan saya terbukti kali ini. Jangan tanya saya tentang harus bagaimana. Saya sedang ingin jadi penikmat. Karena selamat, alur cerita Lolita terulang.
Calvin terbungkam dengan mata membelalak tak percaya melihat tulisan dilayar komputernya. Siapa Rectroverso ini?. Mengesalkan. Tidak memberi solusi. Dan apa maksudnya alur cerita Lolita terulang?. Lolita novel terkenal itu?. Yang benar saja?. Maksudnya aku seorang….
“Maksudmu kau seorang pedofilia?”, Callista terkejut setengah mati. Reaksi yang sudah diduga oleh Calvin sejak awal. Ia tersenyum tipis. “Begitulah”, ia menjawabnya singkat.
Tiba-tiba Callista menyipitkan mata dan memandangnya dengan tatapan mengintrogasi. “Tapi kau tidak melakukan “hubungan itu” kepadanya, bukan?”, Callista membentuk tanda petik dengan kedua jarinya. Calvin terkesiap sesaat namun kemudian terbahak. “Hahahaha!. Bodoh!. Setidaknya aku masih bermoral, tahu?. Nada terlalu menggemaskan, dan aku jatuh cinta padanya. Aku hanya… memiliki kelainan”, ia mengikuti gerakan Callista membuat tanda petik dengan jarinya. “Dia masih sangat kecil, dia masih berhak melanjutkan masa depannya yang panjang itu. Dan sekali lagi, aku jatuh cinta padanya, dan sekali lagi juga, aku masih cukup bermoral untuk bisa mengendalikan diriku. Aku tidak akan menyakiti si kecil Nada”. Callista mengerjap-ngerjapkan mata mendengar jawaban Calvin itu. Jawaban yang lugas namun tegas. Jawaban yang berani.
“Lalu bagaimana rasanya jadi pedofilia?”, Callista bertanya terlalu tiba-tiba. Membuat Calvin menghela nafas sesaat sebelum melanjutkan ceritanya.
Hari ini adalah hari libur yang sudah lama ditunggu-tunggu banyak orang. Calvin menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah sederhana yang terlihat sepi. Seperti tidak ada orang di rumah, batinnya. Tok! Tok! Tok!. Calvin mengetuk pintu jati itu. Diam-diam jantungnya berdebar saat menunggu pintu itu dibukakan.
“Calvin??”, Melody berseru dengan nada tak percaya. “Kenapa datang kesini?”
“Main, yuk!. Ke Dufan, aku yang bayarin, deh”, ucapnya sembari tersenyum. Calvin tahu Melody tidak akan menolaknya. “Tapi aku cuma berdua sama adikku di rumah. Nanti dia bagaimana?”
“Si Nada ya?. Ya sudah ajak sekalian saja”
“Yang benar?. Kau tidak keberatan?”.
Melody.. Melody.. bagaimana mungkin aku keberatan?. Bukankah ia yang sebenarnya ingin ku ajak jalan?. Calvin menampilkan sebuah senyum penuh arti sembari menggelengkan kepala.
“Baiklah, aku ganti baju dulu, ya!. Kau tunggu di dalam saja”, Melody mempersilahkannya duduk dan segera pergi untuk bersiap-siap.
Calvin memandangi foto-foto yang terpampang di tembok ruang tamu. Figur kecil Nada terlihat sangat lucu dan cantik. Belum lagi fotonya yang memegang piala lomba melukis itu. Gadis kecil yang lugu itu ternyata memiliki bakat besar.
“Kak Calvin”, suara riang khas anak kecil itu menyapa telinganya. Calvin menoleh kearah suara. Nada yang memakai bando bunga dan memeluk sebuah boneka teddy bear itu berjalan mendekatinya. Tak elak, jantungnya berdebar makin kencang di tiap langkah Nada yang menghampirinya. “Kakak mau ajak aku dan Kak Melody main ya?”. Mata bening itu berbinar bahagia, membuat segerombolan kupu-kupu beterbangan didalam perut Calvin. Calvin hanya dapat mengangguk kikuk. Bisa-bisanya aku salah tingkah..
“Wah!. Kak Calvin baik sekali!”, seruan bahagia Nada membuatnya tersenyum lebar. Dielusnya kepala Nada dengan penuh rasa sayang. Andai saja gadis kecil ini bisa ia miliki tanpa harus menyalahi norma.
Melody menghela nafas dan tersenyum penuh arti saat melihat Calvin mengelus Nada dengan sayang. Melody meleleh dalam hati. Ia sangat bahagia ada lelaki sesempurna Calvin yang mendekatinya, yang tak keberatan dengan keberadaan adik kesayangannya. Calvin.. Calvin.. kau memang sempurna.
“HAHAHA! Yang barusan itu asyik sekali!”. Mereka tertawa-tawa bersama setelah turun dari salah satu wahana Dunia Fantasi yang mengombang-ambingkan adrenalin. “Tapi aku takut, Kak, naik itu lagi”, Nada merengek disela-sela sisa tawanya. Calvin berjongkok, menyejajarkan tubuhnya dengan Nada. “Nggak perlu takut, disini kan ada kakak”, ucapnya sembari tersenyum dan mencubit pelan pipi tembam Nada. Melody terpana dan heran melihat apa yang dilakukan Calvin. Semua itu terlihat begitu tulus. Hatinya berkata Calvin sangat menyayangi adiknya. Calvin bisa menerima adikku. Hanya saja, tatapan dalam Calvin tadi itu sedikit mengusik irrasionalnya. Tatapan tadi .. seperti orang jatuh cinta.
Are you okay, Mel?”, Calvin menangkupkan kedua tangannya di wajah Melody. Membuat Melody tersadar. “Memangnya kenapa?”
“Mukamu pucat”, Calvin terlihat sedikit cemas.
“Benarkah?”, Melody memang sedikit mual tadi sehabis menaiki kora-kora.
“Kalau capek istirahat saja dulu. Biar aku yang temani Nada”. Melody berpikir sejenak dan mengangguk. Ia tidak ingin memaksakan diri karena ia mudah sekali sakit.
Calvin bahagia. Akhirnya ia memiliki waktu berdua saja dengan Nada. Ia sangat bahagia. Ia bisa membelikan Nada sebuah lollipop besar warna-warni yang sangat disukai Nada, ia bisa menemani Nada bermain komedi putar, ia bisa bermain gelembung bersama Nada dan melihat gadis itu meloncat-loncat riang untuk memecahkan gelembung-gelembung yang dibuatnya. Calvin teramat bahagia hingga ia tak mengerti lagi apa itu definisi duka.
To: Rectroverso
Saya sangat bahagia. Hari ini saya menghabiskan liburan dengan bermain bersama Nada. Tentunya juga bersama dengan Melody sebagai kedok saya. Tadi dia merengek kepada saya agar saya mau memainkan sebuah game untuk mendapatkan sebuah boneka teddy besar. Tentu saja saya menyanggupi. Saya ingin ia terus merengek kepada saya, karena saya akan lakukan apa pun untuknya. Dan saya berhasil, Rectoverso. Dia terlihat sangat bahagia saat mendapatkan boneka itu. Ia memeluk saya untuk berterimakasih. Saya sangat kaget dan deg-degan. Tak kuasa saya mengecup keningnya. Orang-orang yang melihat kami terpana, seolah kami kakak beradik yang sangat rukun. Sepertinya hanya saya yang merasa bahwa kami bukanlah kakak dan adik. Cyber, saya benci menjadi rasional dan menyalahi norma. Saya hanya ingin mencintai Nada tanpa beban.
From: Rectroveso
Jangan terlalu bahagia hingga melupakan definisi duka. Saya tidak melarangmu untuk merasakan cinta. Karena itulah yang membuatmu masih bertahan hingga disini. Tapi kau tidak dapat melakukan sebuah teori koevolusi dimana kau bisa membalikkan konsep. Lakukan apa yang kamu suka untuk menjadi hidup, tapi berhentilah di saat yang kamu butuhkan adalah bertahan hidup.
Callista menggelengkan kepalanya perlahan. “Jadi seperti itu rasanya menjadi seorang pedofilia?”. Calvin mengangkat alis dan memiringkan sedikit kepalanya. “Seperti itulah”, diambilnya secangkir kopi tiwus yang baru saja datang. Masih hangat dan melegakan.
“Ngomong-ngomong, bagaimana dengan Dito?. Tentunya dia hanya mengerti kau mendekati Melody yang notaben-nya adalah incarannya, bukannya Nada, bukan?”
“Ah iya, dia memang sempat marah waktu itu. Mendiamkanku hampir sebulan karena perkataanku waktu itu yang tidak akan mendekati Melody. Aku sendiri tak tahu harus bagaimana menjelaskannya, lagi pula siapa yang tahu aku akan menjadikan Melody sebagai kedok seperti ini?. Tapi beruntungnya aku, dia begitu setia kawan dan memperlakukanku seperti biasa lagi pada akhirnya. Aku pun hanya bisa meminta maaf tanpa memberikan penjelasan apa pun”. Callista manggut-manggut. Sejenak keheningan mengisi ruang diantara mereka. Masing-masing bersibuk dengan pikirannya.
“Kau pasti merasa aku begitu hina bukan?”, suaranya memecah keheningan.
“Tidak”
“Naif”, Calvin tertawa kecut sambil menatap kearah lain.
“Karna kita tak jauh beda”. Jawaban Callista itu membuat Calvin menoleh padanya.
“Maksudmu?”
“Aku dulunya.. spektrofilia”. Calvin menatap wajah cantik Callista dengan bingung. Spektrofilia. Apa itu?. Aku baru dengar. Callista seperti bisa membaca pikiran Calvin melanjutkan, “Spektrofilia adalah kelainan seksual dimana seseorang mencintai sosok hantu”
Callista memainkan pianonya di ruang musik sekolah yang telah sepi. Kertas-kertas berisi partitur-partitur lagu berserakan di sekitarnya. Ia harus segera menyelesaikan sebuah lagu buatannya ini, karena konser sekolah tinggal sebulan lagi sementara ia diberi kewajiban untuk membuat sebuah lagu dan membawakannya secara solo di konser nanti.
Tiba-tiba tengkuknya merasakan hawa dingin. Diciumnya bau wangi bunga melati. Kepalanya mulai merasakan pusing yang tak asing. Callista mendengus. Ia benci saat-saat seperti ini. “Keluarlah jika ada hal penting yang ingin kau bicarakan padaku atau pergilah jika tidak. Karena aku sedang sibuk dan tak ingin diganggu”, ucapnya seorang diri di ruangan kosong itu. Tak ada jawaban. Tak ada juga sosok  yang muncul. Callista menggertakkan giginya dengan kesal.
“Aaaaa!”, ia berteriak kaget saat ia membalikkan badan dan didapatinya seorang lelaki telah berdiri disana. Laki-laki itu seumuran dengannya, kulitnya pucat, matanya teduh walaupun wajahnya terlihat begitu datar. Callista tak yakin cowok ini juga merupakan salah satu dari sosok kasat mata yang selalu dilihatnya itu. Ia tidak memiliki bekas luka atau tanda-tanda lainnya yang menunjukan kematiannya.
“Maaf mengagetkanmu”, ucapnya. Kali ini ia tersenyum.
“Kau ini hantu atau manusia?”, pertanyaan yang blak-blakan.
Laki-laki itu terkekeh kecil. “Menurutmu?. Sebegitu seringnyakah kau melihat kami hingga tak bisa membedakannya?”.
“Bukan begitu, hanya saja kau tidak memiliki bekas luka atau semacamnya. Entahlah, aku juga tak peduli. Ada apa?”
“Sebenarnya tidak ada apa-apa. Aku hanya senang melihatmu memainkan piano dengan indahnya. Aku tak tahu kau sebegitu sensitifnya terhadap makhluk-makhluk sepertiku hingga bisa merasakan keberadaanku, padahal aku hanya memandangimu dari pintu itu”, ia menunjuk pintu masuk ruang musik yang berada cukup jauh dari tempat mereka ini. “Tiba-tiba kau menyuruhku keluar. Ya sudah, kuturuti saja. Lagipula aku juga memang ingin berbincang denganmu”.
Callista diam. Hanya memberikan tatapan aneh padanya sebagai jawaban. “Aku Arka”, ia tersenyum sambil menjulurkan tangannya. Callista menatap tangan pucat itu. Sebuah perkenalan?. Dijabatnya tangan Arka dengan ragu. Dingin. “Callista” ucapnya sambil menatap mata Arka yang teduh.
“Kau selalu sendirian ya?”, ucap Arka. Sore ini ia mengikuti Callista yang berjalan pulang setelah berhasil menyelesaikan lagunya. Callista menghentikan langkahnya sejenak dan menatap kesal pada Arka. Yang ditatap malah menaikan alis, tak mengerti akan kesalahan pertanyaannya. “Iya. Aku memang tak punya teman”, ucap Callista cepat kemudian melangkah meninggalkannya. Arka terhenyak sesaat. Ia merasakan tadi suara Callista bergetar saat mengatakannya.
“Memang kenapa?”, tanya Arka saat ia berhasil mengejar langkah Callista. Walaupun ia tahu pertanyaan ini--lagi-lagi--bisa menyinggung perasaan Callista, tapi rasa penasarannya ternyata lebih besar daripada rasa bersalahnya. Callista tidak menggubrisnya. “Jawab dong!”, Arka jadi kesal sendiri.
"Karena aku bisa melihat kalian dan bicara dengan kalian. Mereka menganggap aku gila dan mengerikan. Maka dari itu diamlah, aku tidak ingin makin banyak orang mengiraku gila karna aku bicara sendirian", Callista akhirnya berucap pelan setelah berbelok di jalanan yang sepi. "Aneh. Bukankah itu keren?. Menjadi seorang mediator sepertimu maksudku, bukankah itu keren?"
"Oh. Mediator itu kata yang lebih halus untuk menyebut seorang indigo ya?", jawabnya sinis. Arka terdiam sementara Callista terus berjalan. Ia memandangi punggung yang kian menjauh itu. Gadis aneh. Bukannya bersyukur dengan kemampuannya, malah marah-marah sendiri.
Ia menahan nafas untuk beberapa saat ketika Arka tiba-tiba muncul didepannya. Dalam hati ia memaki para hantu yang dengan mudah muncul dimana-mana. "Apa lagi?"
"Kalau begitu aku akan jadi temanmu"
"Apa kau bilang?"
"Bodoh, aku akan jadi temanmu"
"Tidak, terimakasih", Callista beranjak pergi melewati Arka. Ia ingin segera sampai di rumah dan meninggalkan hantu sinting itu. "Ya kalau tidak mau, aku akan jadi sahabatmu saja!". Callista segera membalikan tubuh mendengar teriakan Arka tadi. "Sinting dasar sinting!!!", ia menghentak-hentakan kakinya dengan kesal saat Arka sudah menghilang tak berbekas sebelum ia sempat memaki-makinya.
To: Rectroverso
Hai, Cyber Avatar. Saya seorang remaja perempuan, berumur 17 tahun. Saya memiliki mata yang berbeda dengan orang lain. Saya bisa melihat makhluk kasat mata. Entah ini sebuah kutukan atau anugrah. Tapi karna hal inilah saya tidak memiliki teman. Mereka menganggap saya gila dan mengerikan. Rectroverso, bukankah semua orang tidak bisa memilih kelahirannya? Sama seperti saya yang tidak bisa menolak untuk menjadi seorang indigo?
<send>
From: Rectroverso
Kelahiran memang bukanlah sebuah pilihan. Tapi hidup adalah sebuah pilihan. Jangan katakan kau tak punya pilihan, karna saat kau tak memilih pun itu adalah pilihanmu. Dan bagaimana semua ini akan berjalan. Kau sendiri yang tahu jawabannya.
To: Rectroverso
Rectroverso, terimakasih untuk jawaban kemarin. Hari ini sepertinya saya diberi tambahan pilihan lagi. Seseorang menawarkan untuk menjadi sahabat saya. Baiklah, bukan seseorang namun sesosok hantu. Namanya Arka. Saya masih tak tahu akan mengiyakannya atau tidak. Tapi sepertinya saya membutuhkannya.
<send>
"Jadi, kau akhirnya bersahabat dengannya?", Calvin bertanya dengan penuh ketertarikan. "Begitulah". Calvin manggut-manggut, diambilnya kopi tiwus yang tinggal setengah itu.
"Lalu bagaimana kau bisa jatuh cinta padanya?"
"Dengan menjadi cinta. Hahahah"
Apakah banyak pasangan yang jatuh cinta saat senja hari?. Kalau iya, mereka salah satunya. Senja hari itu, Callista menghabiskannya bersama Arka. Tadi siang Arka mengajaknya ke sebuah gedung asing di atas bukit. Ternyata, gedung itu adalah tempat orkestra kecil milik keluarga Arka yang sudah jarang dipakai. Apalagi semenjak Arka meninggal, karna ia lah yang paling sering bermain disana.
"Duduklah disampingku", Arka menepuk bangku piano yang ia duduki. Callista menurutinya. "Watch and learn", ucap Arka. Ia menghadapkan dirinya pada piano besar yang sudah lama tak ia mainkan. Dihelanya nafas, dan tak lama jari-jarinya bermain-main di tuts-tuts piano itu. Alunan merdu suara piano memenuhi ruangan. Callista memejamkan mata ikut meresapi setiap nada-nada indah. Lagu ini membuatnya membayangkan sebuah padang bunga berwarna-warni, dengan langit biru tanpa awan, siraman matahari yang menghangatkan hati. Tiba-tiba lagu itu terhenti, membuat Callista membuka kembali matanya.
"Lagu ini hanya kumainkan untuk wanita yang aku sayangi", ucap Arka dengan senyum merekah. Sekejap, pipi Callista memerah, senada dengan warna matahari di senja itu. "Kau pernah memainkannya berapa kali?", ucap Callista tanpa berani menatap mata Arka. "Kau yang kedua". Kukira hanya aku, Callista kecewa dalam hati.
"Yang pertama adalah ibuku". Mendengarnya Callista langsung menoleh kearah Arka. Gerakan yang terlalu tergesa hingga membuat Arka sadar bahwa Callista sempat cemburu tadi. Ia terkekeh. Dirangkulnya gadis itu dan dijitaknya pelan. "Haha!. Dasar cemburuan!". Callista menyubit lengan Arka yang merangkulnya. Dasar, ini anak nggak pernah bisa romantis!, makinya dalam hati. "Arka sinting!", ucapnya yang kemudian keluar dari gedung itu.
"Ta, begitu saja marah", ucap Arka yang untuk kesekian kalinya muncul secara tiba-tiba dihadapan Callista. Callista mendengus. Ia lupa Arka bisa dengan mudah muncul dimana-mana. Jadi percuma saja ia lari. "Ikutlah denganku, aku ingin menunjukan sesuatu. Arka mengajaknya ke belakang gedung, disana terdapat sebuah taman bunga kecil yang berwarna-warni. Mereka duduk ditengah-tengah taman, menghadap kearah matahari yang mulai berpamitan.
"Indah..", gumam Callista. Ini seperti yang ia bayangkan tadi. Taman bunga berwarna-warni, siraman sinar matahari, hanya bedanya ini ada senja dan Arka. Tapi tak apa, lagipula Callista lebih suka yang satu ini daripada yang dibayangannya tadi.
"Ka, ngomong-ngomong apa yang membuatmu tiada?", seperti biasa, Callista selalu bertanya terang-terangan. Arka terdiam sejenak.
"Orang tuaku bercerai sementara aku adalah anak tunggal. Aku yang terlalu lembek ini pun bunuh diri dengan meminum racun. Jadilah sudah"
Hening tercipta. Arka tak tahu apa yang Callista pikirkan setelah mendengar jawabannya. Ia pikir gadis ini akan menanyakan pula kenapa orang tuanya bercerai dan blablabla. Tapi ternyata tidak.
"Oh, begitu?. Dasar bodoh memang, kau ini. Tapi, pantas saja ya, kau tidak punya bekas luka seperti yang lainnya"
"Pantas saja aku tetap tampan, maksudmu?", seru Arka jahil.
"Iya. Ah?! Nggak! Idih, jangan GR!", Callista yang gelagapan dengan jawabannya sendiri membuat Arka terpingkal-pingkal. Sementara Callista manyun karena kebodohannya barusan.
"Callista?", Arka tiba-tiba berucap lembut setelah sebelumnya terpingkal keras. Callista menoleh padanya. Arka menatapnya dalam. Mata yang teduh itu membuatnya terbuai. Dirasakannya tangan Arka yang dingin menggenggam jemarinya. "Aku menyayangimu. Bolehkah aku?"
Callista hanya terdiam. Ia tak tahu apakah itu sebuah pernyataan ataukah sebuah pertanyaan dari Arka. Yang ia tahu adalah Arka yang kemudian mendekapnya dengan sayang dan ia sangat nyaman dengan itu. Senja, aku jatuh cinta..
 Dalam dekapan itu tiba-tiba Arka berbisik. "Callista, salahkah ini?". Pertanyaan yang membuyarkan kebahagiaan Callista. "Harusnya aku yang berkata seperti itu, Ka. Bukan kau"
"Maafkan aku, tak seharusnya aku sebodoh itu dulu. Tak seharusnya aku bunuh diri". Hati Callista menangis. Ia tak ingin mendengar penyesalan Arka yang bunuh diri. Bukan, bukan itu yang tak ingin ia dengar, ia sendiri pun menyesalkan kenapa mereka berada di dunia yang berbeda sekarang. Yang tak ingin ia dengar adalah pembenaran bahwa ia menyalahi norma. Pembenaran bahwa cintanya terlarang.
"Jangan begitu. Ironinya, kalau kau tak meninggal, kita tak akan bisa bertemu". Callista berucap lirih. Ia beruntung suara terakhirnya itu bisa keluar ditengah tangis dalam hatinya. Selanjutnya, ia hanya mampu memeluk Arka lebih erat lagi.
To: Rectroverso
Memeluknya bagaikan memeluk sebuah pohon kaktus. Semakin erat, semakin menyakitkan. Tapi saya tetap tak sanggup untuk melepaskan. Padahal saya sendiri tahu, semakin saya menyayanginya semakin saya harus melepasnya. Saya benci rasionalitas. Saya benci menyalahi norma. Saya benci memiliki cinta yang terlarang.
<send>

From: Rectroverso
Jangan salahkan rasionalitas yang tetap bisa menjaga warasmu. Jangan pernah membenci apa pun selagi kau belum mengerti apa arti dibaliknya. Saya ingatkan, segalanya hanya tentang pilihan dan kau sendiri.
"Ironis". Callista tersenyum simpul. Tak perlu Calvin ucapkan pun semua yang mengetahuinya akan berkata hal yang sama. "Oh iya, ngomong-ngomong kau harus coba coffee latte disini", kata Calvin. Lelaki itu kemudian memanggil seorang pelayan dan memesan dua cangkir coffee late.
"Vin", panggil Callista setelah pelayan itu pergi.
"Ya?"
"Bagaimana akhir cerita si pedofilia itu?"
 Nada kecelakaan. Dengan cemas ia segera menuju UGD di rumah sakit dimana Nada dilarikan. Ia berlari dengan tergesa.
"Mel, gimana?". Melody berada di depan pintu UGD sambil menangis seorang diri. Ia tentunya sama khawatirnya dengan Calvin. Melody memeluk Calvin dalam kekalutannya. "Vin, aku takut, Vin", serunya dalam tangis. Calvin hanya sanggup menepuk-nepuk punggung Melody untuk menenangkannya. Ia tak bisa mengucapkan apa pun sekarang. Otaknya buntu, yang ia pikirkan hanya keadaan Nada.
Para crew medis baru saja keluar dari ruang UGD. "Kalian keluarganya?", ucap salah seorang dokter. "Kami kakaknya", balas Calvin. "Keadaannya baik-baik saja. Tinggal menunggu ia siuman. Dimana orangtuanya?"
"Mereka akan datang besok. Mereka masih di Hongkong". Dokter itu hanya mengangguk dan meninggalkan mereka.
"Kau tenangkan dirimu dulu. Mandi kemudian makan di rumah. Setelah itu kembali kesini--Tidak, jangan menyela dulu. Percayalah padaku, aku akan menjaga Nada sementara kau mengurus dirimu sendiri. Jangan sampai kau kenapa-kenapa, kau juga kan yang harus mengurus Nada?". Melody mengangguk lemah. Calvin benar dan lagi pula dia memang sedang tak ingin berdebat, jadilah ia pulang ke rumahnya.
Calvin memasuki ruangan itu dan mendapati Nada terkulai lemas. Hatinya remuk redam melihat keadaan Nada saat ini. Calvin duduk disamping ranjang Nada. Digenggamnya erat tangan mungil itu. "Dik, cepat siuman ya.. Jangan kenapa-kenapa lagi. Jangan buat kakak takut lagi. Kamu harus segera sembuh. Nanti kakak belikan lolipop yang besar, nanti kita main-main gelembung lagi, nanti kita habiskan waktu bersama. Bersenang-senang!", suara Calvin tertahan. "Nada.. Aku ingin memanggilmu Nada bukan 'adik'. Dan aku ingin kau memanggilku Calvin, bukan 'kakak'. Nada, ini memang salah, dan aku yakin kau belum mengerti. Tapi tak apa, aku toh tak memintamu mengerti. Nada, jangan tinggalkan aku. Cepatlah sadar. Cepatlah kembali ceria, cepatlah kembali merengek padaku. Melihatmu seperti ini saja hatiku sudah hancur, Nad", nafas Calvin tergesa. Segala perasaan bergejolak dalam hatinya.  "Nada.. Maafkan aku, tapi aku mencintaimu!", Calvin mengecup tangan mungil itu. Akhirnya ia mengatakannya..
Melody terkesiap dengan apa yang ia lihat dan dengar barusan. Ternyata pilihannya untuk kembali ke UGD dan mengambil barangnya yang ketinggalan itu salah. Salah, sangat salah. Karena ia--mau tak mau--harus mendengar pengakuan terlarang dari lelaki yang teramat dicintainya. Ternyata pikiran-pikiran yang selama ini ia pikir adalah sebuah kegilaan merupakan sebuah kenyataan. Melody meringis merasakan hatinya yang teriris. Seluruh tubuhnya bergetar. Ternyata Calvin seorang pedofilia. Ternyata yang dicintainya adalah Nada, adiknya. Ternyata... Ternyata.. Ternyata ia bodoh selama ini.
"Kau melihat Melody di pintu ruangan??"
"Iya dan ia menangis. Aku benar-benar merasa bersalah saat itu"
"Itu sakit, Vin. Sangat."
"Ya bagaimana lagi?. Cinta tak bisa dipaksakan".
"Ya ya, aku mengerti. Lalu bagaimana dengan Melody selanjutnya?"
"Dia tentu saja sangat terpukul. Ia melihat dan mendengar apa yang kukatakan dari awal sampai akhir. Tapi yang membuat aku merasa bersalah lagi, ia berjanji padaku untuk tidak akan mengatakan pada orang lain bahwa aku seorang pedofilia. Itu semata karna ia sudah terlanjur mencintaiku dengan tulus". Callista mendecakan lidah. Cinta memang dengan mudah membuatmu buta. "Dan Melody tetap menyimpan janjinya itu?"
"Ya, hingga ia mengorbankan dirinya sendiri untuk janji itu"
"Maksudmu?"
"Ia mengalami depresi karna tak sanggup menerima itu sendirian. Tapi ia tetap memegang janjinya. Itulah yang membuatku merasa sangat bersalah. Aku sungguh egois dengan perasaanku. Makanya, aku menghubungi sekelompok psikiater untuk menyembuhkanku dari kelainan ini. Tentunya tanpa sepengetahuan keluargaku. Dan jadilah aku sekarang, mantan pedofilia"
"Aku masih tak mengerti kenapa akulah yang menjadi orang seberuntung itu?. Yang begitu mudah dimaafkan oleh Dito. Yang begitu mudah mendapatkan pengorbanan cinta dari seorang Melody yang hampir sempurna. Harusnya ada orang lain yang lebih berhak untuk itu"
"Cukuplah jadi pelajaran untukmu. Lagipula, kalau tak begitu kau tak akan normal seperti ini kan?. Dan lagi, Melody.. ia membuktikan bahwa sesuatu yang berlebihan tak pernah baik"
Calvin menghela nafas panjang. Dimatanya melayang-layang beribu kata maaf dan rasa bersalah.
"Bagaimana denganmu Call?", tanyanya tiba-tiba.
"Aku?"
"Kau dan Arka. Atau jangan-jangan kau masih.."
"Tidak lah!. Aku sudah bertobat dan sadar"
"So let me know, girl"
"Sejak bertahun-tahun aku selalu berdoa pada Tuhan. Untuk mencari jawaban siapa Arka sebenarnya, apa tujuanku dapat melihat semua ini dan bagaimana aku harus menghadapi perasaan ini. Kulakukan terus hingga akhirnya Tuhan menjawabnya"
"Ketika retret gereja, aku berkesempatan berbincang dengan pendetaku. Kami larut dalam berbagai pembicaraan. Hingga akhirnya, entah apa yang mendorongku saat itu, aku menceritakan segalanya dari awal hingga akhir"
"Callista, orang-orang yang bercampur tangan dengan roh-roh atau arwah-arwah sama saja mencemari rohnya sendiri. Dan bila kau meneruskannya, sekalipun kau melakukan hal-hal baik, rohmu akan cemar"
"Jadi semua ini salah?"
"Kau tahu benar dimana kesalahannya"
"Tapi saya merasa lebih dekat Tuhan setelah ia ada dalam hidup saya, Pak"
"Ada kalanya mereka berlagak seperti seorang malaikat, mengerti?. Begini Callista, satu yang saya tekankan. Kita sudah diajarkan untuk tidak mengorbankan iman dan ketaatan kepada Bapa karena apa pun alasannya. Apalagi untuk cinta yang seperti ini. Kasih pun tak ada yang menggolongkan hal yang kau alami ini". Hening sejenak. Callista sendiri diam, pikirannya terombang-ambing.
"Bagaimana saya mengakhiri semua ini?"
"Dengan mengakhirinya. Tim doa bisa mendoakanmu. Tapi kamu juga harus berusaha lepas darinya. Gunakan kemampuan yang kamu miliki itu dengan bijaksana. Jangan sampai membawamu ke jalan yang salah seperti ini. Bapa punya maksud yang lain, Nak. Tapi bukan yang ini"
"Aku melakukannya. Aku berusaha menjauh dari Arka. Aku terus berdoa pada Tuhan agar aku bisa lepas dari sini. Aku sadar bahwa aku sudah salah langkah. Tidak, sebenarnya aku sudah menyadari kesalahanku sejak dulu. Hanya saja aku tak ingin mengakuinya. Karena... Aku kesepian"
"Aku mungkin sanggup menyalahi norma. Tapi tidak dengan menyalahi iman. Aku tak akan mengorbankan imanku demi apa pun".
"Bagaimana dengan Arka?"
"Awalnya ia heran, karna aku benar-benar bersikap dingin padanya. Ia juga sempat marah dan 'menyerangku'. Dan aku hanya bisa berdoa dan mempertahankan imanku, membiarkan Tuhan yang bekerja. Lambat laun dia benar-benar tak pernah datang padaku. Awalnya aku masih merasa sepi dan begitu merindukannya. Tapi aku menampik semua itu dan jadilah sekarang. Aku diberkati. Aku tak kesepian, punya banyak teman, bahagia, dan beriman. Hahah"
Calvin tersenyum mendengar happy ending dari kedua cerita ini. Tiba-tiba seorang pelayan datang dan membawakan coffee latte mereka. Callista mengambil satu diantaranya. Kehangatan kopi menjalar pelan di buku-buku jarinya. Diseduhnya kopi itu pelan-pelan. Ia memejamkan mata, menghayati sensasi rasa di lidahnya. Kopi ini...
"Menenangkan, bukan?", kata Calvin tiba-tiba seperti dapat membaca pikirannya. Callista membuka mata dan melihat Calvin tersenyum. DEG!. Jantungnya berdegub keras. Calvin seperti malaikat. DEG!. Sejak kapan ia menyukai senyum itu?.
"Bagaimana kau bisa tahu pikiranku?", Callista menyeringai dengan tawa dibuat-buat. Calvin melihat manisnya senyum Callista itu. DEG!. Jantungnya berdegub. Ada yang aneh.. DEG!. Sejak kapan ia menyukai senyum wanita ini?.
"Benarkah?. Kalau begitu berpikirlah sesuatu dan aku akan menjawabnya pula dalam pikiranku"
"Bertelepati?. Oh, baiklah"
Senja, sepertinya aku jatuh cinta dengan lelaki ini..
Senja, sepertinya aku juga jatuh cinta dengan gadis ini..
Tiba-tiba pandangan mereka bertemu. Begitu dalam dan penuh arti. Sepertinya mereka saling mengisyaratkan bahwa mereka mengerti pikiran masing-masing.
"Aku mencintaimu Callista, ada pertanyaan?", ucapan Calvin tegas dan spontan. Membuat Callista tehenyak sesaat dan kemudian ikut tersenyum saat melihat lelaki ini memamerkan manis senyumnya.
"Ada, kenapa kau berani menceritakan padaku bahwa dulunya kau seorang pedofilia?"
"Karna aku ingin membuktikan pada diriku sendiri bahwa kau bisa menerimaku apa adanya. And so do you, right?". Callista mengangguk mantab. Memang itu pula yang mendorongnya untuk berani menceritakan pada Calvin tentang masa lalunya. Untuk membuktikan bahwa ia tak salah orang, Calvinlah yang bisa menerimanya.
"Kalau begitu, aku juga mencintaimu"
"Ngomong-ngomong, Vin. Siapa ya rectroverso itu?". Calvin mengendikan bahu. "Entahlah"
"Tapi yang terpenting kan siapa kita sekarang", Calvin terkekeh kecil sembari menggandeng tangan Callista keluar kedai kopi. "Tapi aku penasaran juga".
Sedari tadi aku mengamati mereka didalam kedai kopi kecil ini. Lelaki pedofilia dan gadis spektrofilia. Senang sekali mengenal kalian, hai, para pemabuk cinta. Tak kusangka aku bisa bertemu kalian dengan kebetulan disini, secara bersamaan. Ternyata kalian saling membicarakan masa lalu. Berbagi kisah kelam dan memulai kisah baru bersama. Terimakasih sudah menjadi dua inspirasiku yang fantastis. Jemariku kini sibuk bermain dengan keyboard laptop. Menuliskan kisah kalian.
Rectroverso.

No comments:

Post a Comment