jangan panggil aku, tapi saya.
kenapa saya menyukai laut?
karna terakhir saya membuang kesakitan saya dengan laut.
kenapa saya menyukai hujan?
karena ia seperti emergency. menutupi dan mengerti apa yang ada dalam benak, tanpa banyak kata.
kenapa saya menyukai bintang?
karena menurut saya, bintang adalah tanda kasih Tuhan untukmu. terlihat tidak terlihat, ia selalu ada.
kenapa saya menyukai hijau?
karena ia menenangkan, menyegarkan, dan berbeda.
kenapa saya menyukai langit?
karena ia seperti mimpi, dimana-mana, terbentang, bebas.
kenapa saya menyukai mawar putih?
karena iaa sederhana namun tulus
kenapa saya menyukai coklat putih?
karena saya sering maag dan coklat putih itu khas.
kenapa saya menyukai tidur?
karena saya tak perlu meninggalkan dunia untuk sejenak lari dari masalah dan menenangkan diri.
kenapa saya menyukai matahari dan kuningnya?
karena ia mengingatkan saya untuk terus bersinar, menjadi orang yang hangat sekalipun banyak yang merendahkan atau membencinya.
kenapa saya melakukan hal sebodoh sekarang ini?
karena saya hanya sedang menunggu.... sesuatu (?)
Thursday, May 23, 2013
Saturday, May 11, 2013
Filiamore
Warna jingga
mulai merasuki tiap sudut langit saat kedua insan itu duduk dalam sebuah kedai
kopi kecil di sudut kota. Para pecinta kopi semakin banyak memenuhi ruangan
berdinding bata itu. Tak heran, tempat ini memang cocok untuk menghabiskan
senja hari. Itulah mungkin alasan kenapa dinamai “Senja Coffee”. Tapi sekarang
berbeda, senja indah hari ini ternyata tak lebih menarik daripada percakapan
mereka disela-sela sesapan kopi.
“Pernah dengar
cinta terlarang?”. Pertanyaan itu membuat satu alisnya terangkat.
“Cinta pada
ipar sendiri maksudmu? Yang seperti di salah satu video clip musik?. Atau cinta
sesama jenis? Homoseksual dan lesbian itu?”
Calvin menyesap
kopinya pelan, lalu tersenyum tipis sebelum menjawab pertanyaan itu. “Bisa jadi.
Tapi yang ini tidak sebasi itu”
“Maksudmu?”
Calvin
menggigit bibirnya, tampak sedang berpikir. “Ini tentang… aku”. Kening Callista
berkerut menanggapinya. “Dulu”
Alis Callista
terangkat makin tinggi. “Baik, ada apa dengan kau yang dulu dan cinta terlarang
itu?”. Calvin menautkan kedua tangannya. Tampaknya ini memang bukan sebuah
kisah cinta terlarang masa lalu yang sebasi ia sebutkan tadi. Karna dilihatnya
Calvin seperti agak berat menceritakannya.
Tiba-tiba Calvin
mendesah pelan dan menatapnya dalam..
♥
Siapa lagi yang
akan menolak jika ditawari bertukar nasib dengan seorang Calvin Cendra?. Anak
konglomerat yang tak pernah kehabisan uang, pemilik otak cerdas ber-IQ very
superior, seorang pianis muda sekaligus seorang kapten basket. Calvin, ia
jugalah pemilik paras malaikat yang begitu memukau itu. Tak hanya memukau, ia
bahkan sanggup melelehkanmu saking tampannya. Dua manik mata beningnya begitu
dalam hingga mampu membuatmu betah tenggelam lama-lama didalamnya. Alisnya
tebal, kulit tanned-nya memberikan
kesan yang begitu maskulin, badannya pun ideal. Tak heran begitu banyak gadis
yang jatuh bangun mengejarnya.
“Satu lagi dari
fans”, Dito melemparkan sebotol minuman dingin pada Calvin yang tengah mengelap
keringatnya dengan handuk sehabis latihan basket. Ditangkapnya botol itu dengan
sigap. Calvin hanya menatap Dito dengan sebuah pesan tersirat. “Melody”, Dito
menjawab pesan tersirat Calvin yang menanyakan siapa pengirimnya. Kening Calvin
berkerut, lalu dibukanya botol dan diteguknya besar-besar minuman itu. Arghh… “Yang mana lagi tuh?”, tanyanya
setelah menuntaskan minumnya.
“Oke,
pertanyaanmu itu membuatku muak. Ini fansmu yang terlalu banyak atau kau yang
pura-pura tak mengenali mereka lagi?”. Calvin melengos saat Dito menekankan
pengucapannya pada kata ‘lagi’.
“Banyak cakap.
Yang mana orangnya?”
“Itu”, Dito
menunjuk ke arah pintu keluar gedung olahraga diikuti dengan tatapan Calvin
yang menelusurinya. Ternyata seorang gadis berseragam cheerleader tengah
berdiri disana. Tadi Calvin melihat gadis itu sempat menatap kearahnya sekilas,
tapi kini ia telah memalingkan tatapannya kearah lain dengan gestur yang salah
tingkah. “Jangan bilang padaku kalau kau juga tak tahu bahwa dia adalah kapten
cheers sekolah ini”. Calvin hanya mengendikan bahu.
“Argh!”, Dito
mengerang gemas melihat respon temannya itu. “Kalau tidak mau, kasih ke aku
saja!. Daripada mubazir, cewek secantik itu dibuang-buang”
Calvin
tertawa geli melihat tingkah teman satu
timnya yang sudah kelewat lebay untuk
ukuran anak lelaki. “Ambil saja. Bosan aku dengan tipe-tipe seperti itu”
“Are you kidding me?. Kau bosan?. Oh
baiklah, you have everything, and I would
never forget that thing”
“Haha. Parah!.
Aku tahu kau sudah mengincarnya sejak kita di kelas sepuluh dulu, iya kan?. Tak
usah frustasi begitu, aku tak akan merebut apa yang temanku inginkan”, Calvin
menepuk pundak Dito ringan. Sementara Dito menatapnya dengan tatapan aneh. Ia
ingin mengelak pernyataan Calvin tapi itu terlalu fakta untuk disanggah. “Lagi
pula dia memang bukan tipeku”, Calvin menambahkan.
“Lalu seperti
apa tipemu?”. Pertanyaan iseng Dito itu berhasil membuatnya terbungkam sendiri.
♥
To: Rectroverso
Hai, Cyber
avatar. Ini terasa aneh. Entah aneh karna saya bercerita dengan penghuni dunia
maya yang tak saya ketahui seperti apa rupanya atau perasaan yang saya
rasakan?. Saya seorang remaja laki-laki, berusia 18 tahun. Saya memiliki segalanya.
Harta, otak, tampang, juga penggemar. Hanya saja para gadis itu membosankan dan
tak ada yang menarik. Inikah kurangnya? Saya tak memiliki cinta, semua ini
terasa basi.
<send>
Tidak dibalas.
♥
Cyber Avatar.
Makhluk dunia maya yang tak perlu menjadi nyata untuk menjadi teman bercerita
Calvin. Dan Calvin pun tak berharap ia menjadi nyata karna ia lebih baik terus
menjadi penghuni dunia maya yang dibiarkannya mengetahui rahasia terdalam di
lubuk hatinya.
To: Rectroverso
Masih ingat
saya, Rectroverso?. Saya yang mengatakan bahwa hidup saya terasa basi. Kali ini
akan saya tarik ucapan itu. Berbulan lalu, saya bertemu lagi dengan seorang
perempuan, ia salah satu yang mengejar saya. Namanya Melody. Ia memang cantik, tapi
bukan ia yang membuat saya menarik kata basi itu. Gadis kecil disebelahnya lah
pelakunya. Itu adiknya, Nada. Saya begitu tertarik dengannya. Ia anak kecil
yang lucu dan menggemaskan. Tapi yang membuat saya bingung adalah kenapa
jantung saya berdebar-bedar saat melihatnya?
<send>
Tidak dibalas.
To: Rectroverso
Rectroverso,
apakah saya memang terlahir untuk mendekati sebuah kesempurnaan? Bukankah
begitu? Saya memiliki cinta sekarang. YA, SAYA MERASA SEMPURNA. HAHA!.
<send>
Tidak dibalas.
To: Rectroverso
Rectroverso!
Kenapa kau tidak pernah membalas e-mail saya?. Ini semakin gila, kau tahu?.
Saya jatuh cinta.. kepada anak perempuan lugu berumur 7 tahun. Nada.. Nada..
Nada.. . Dia memang seperti nada-nada cinta merdu yang dengan lincah memainkan
debar jantung saya. Saya mendekati Melody, kakaknya, gadis yang mengejar-ngejar
saya itu. Tapi itu semata hanya kedok bagi saya untuk dapat menjadi lebih dekat
dengan si kecil Nada. Benarkah saya?. Saya harus bagaimana?
<send>
Calvin
menghempaskan punggungnya di sandaran kursi. Ia sangat berharap e-mailnya yang
kesekian kali ini akan dibalas. Ia sudah cukup merasa gila dengan jatuh cinta
pada seorang anak kecil. Dan Cyber Avatar.. Calvin hanya tidak tahu harus
menceritakan ini kepada siapa di dunia yang rasional ini. Benarkah saya?. Pertanyaan yang ia lontarkan tadi memenuhi benaknya
sendiri. Pertanyaan retoris.
From:
Rectroverso
Saya diam karna
saya hanya ingin menjadi penikmat cerita anda sejenak dan menebak-nebak apa
yang terjadi selanjutnya. Ternyata satu dugaan saya terbukti kali ini. Jangan
tanya saya tentang harus bagaimana. Saya sedang ingin jadi penikmat. Karena
selamat, alur cerita Lolita terulang.
Calvin
terbungkam dengan mata membelalak tak percaya melihat tulisan dilayar
komputernya. Siapa Rectroverso ini?. Mengesalkan. Tidak memberi solusi. Dan apa
maksudnya alur cerita Lolita terulang?. Lolita novel terkenal itu?. Yang benar saja?. Maksudnya aku seorang….
♥
“Maksudmu kau
seorang pedofilia?”, Callista terkejut setengah mati. Reaksi yang sudah diduga
oleh Calvin sejak awal. Ia tersenyum tipis. “Begitulah”, ia menjawabnya
singkat.
Tiba-tiba
Callista menyipitkan mata dan memandangnya dengan tatapan mengintrogasi. “Tapi
kau tidak melakukan “hubungan itu” kepadanya, bukan?”, Callista membentuk tanda
petik dengan kedua jarinya. Calvin terkesiap sesaat namun kemudian terbahak.
“Hahahaha!. Bodoh!. Setidaknya aku masih bermoral, tahu?. Nada terlalu
menggemaskan, dan aku jatuh cinta padanya. Aku hanya… memiliki kelainan”, ia
mengikuti gerakan Callista membuat tanda petik dengan jarinya. “Dia masih
sangat kecil, dia masih berhak melanjutkan masa depannya yang panjang itu. Dan
sekali lagi, aku jatuh cinta padanya, dan sekali lagi juga, aku masih cukup
bermoral untuk bisa mengendalikan diriku. Aku tidak akan menyakiti si kecil
Nada”. Callista mengerjap-ngerjapkan mata mendengar jawaban Calvin itu. Jawaban
yang lugas namun tegas. Jawaban yang berani.
“Lalu bagaimana
rasanya jadi pedofilia?”, Callista bertanya terlalu tiba-tiba. Membuat Calvin
menghela nafas sesaat sebelum melanjutkan ceritanya.
♥
Hari ini adalah
hari libur yang sudah lama ditunggu-tunggu banyak orang. Calvin menghentikan
mobilnya di depan sebuah rumah sederhana yang terlihat sepi. Seperti tidak ada orang di rumah, batinnya.
Tok! Tok! Tok!. Calvin mengetuk pintu
jati itu. Diam-diam jantungnya berdebar saat menunggu pintu itu dibukakan.
“Calvin??”, Melody
berseru dengan nada tak percaya. “Kenapa datang kesini?”
“Main, yuk!. Ke
Dufan, aku yang bayarin, deh”, ucapnya sembari tersenyum. Calvin tahu Melody
tidak akan menolaknya. “Tapi aku cuma berdua sama adikku di rumah. Nanti dia
bagaimana?”
“Si Nada ya?.
Ya sudah ajak sekalian saja”
“Yang benar?.
Kau tidak keberatan?”.
Melody.. Melody.. bagaimana mungkin aku
keberatan?. Bukankah ia yang sebenarnya ingin ku ajak jalan?. Calvin
menampilkan sebuah senyum penuh arti sembari menggelengkan kepala.
“Baiklah, aku
ganti baju dulu, ya!. Kau tunggu di dalam saja”, Melody mempersilahkannya duduk
dan segera pergi untuk bersiap-siap.
Calvin
memandangi foto-foto yang terpampang di tembok ruang tamu. Figur kecil Nada
terlihat sangat lucu dan cantik. Belum lagi fotonya yang memegang piala lomba
melukis itu. Gadis kecil yang lugu itu ternyata memiliki bakat besar.
“Kak Calvin”,
suara riang khas anak kecil itu menyapa telinganya. Calvin menoleh kearah
suara. Nada yang memakai bando bunga dan memeluk sebuah boneka teddy bear itu
berjalan mendekatinya. Tak elak, jantungnya berdebar makin kencang di tiap
langkah Nada yang menghampirinya. “Kakak mau ajak aku dan Kak Melody main ya?”.
Mata bening itu berbinar bahagia, membuat segerombolan kupu-kupu beterbangan
didalam perut Calvin. Calvin hanya dapat mengangguk kikuk. Bisa-bisanya aku salah tingkah..
“Wah!. Kak
Calvin baik sekali!”, seruan bahagia Nada membuatnya tersenyum lebar. Dielusnya
kepala Nada dengan penuh rasa sayang. Andai saja gadis kecil ini bisa ia miliki
tanpa harus menyalahi norma.
Melody menghela
nafas dan tersenyum penuh arti saat melihat Calvin mengelus Nada dengan sayang.
Melody meleleh dalam hati. Ia sangat bahagia ada lelaki sesempurna Calvin yang
mendekatinya, yang tak keberatan dengan keberadaan adik kesayangannya. Calvin.. Calvin.. kau memang sempurna.
♥
“HAHAHA! Yang
barusan itu asyik sekali!”. Mereka tertawa-tawa bersama setelah turun dari salah
satu wahana Dunia Fantasi yang mengombang-ambingkan adrenalin. “Tapi aku takut,
Kak, naik itu lagi”, Nada merengek disela-sela sisa tawanya. Calvin berjongkok,
menyejajarkan tubuhnya dengan Nada. “Nggak perlu takut, disini kan ada kakak”,
ucapnya sembari tersenyum dan mencubit pelan pipi tembam Nada. Melody terpana
dan heran melihat apa yang dilakukan Calvin. Semua itu terlihat begitu tulus.
Hatinya berkata Calvin sangat menyayangi adiknya. Calvin bisa menerima adikku. Hanya saja, tatapan dalam Calvin tadi
itu sedikit mengusik irrasionalnya. Tatapan
tadi .. seperti orang jatuh cinta.
“Are you okay, Mel?”, Calvin menangkupkan
kedua tangannya di wajah Melody. Membuat Melody tersadar. “Memangnya kenapa?”
“Mukamu pucat”,
Calvin terlihat sedikit cemas.
“Benarkah?”,
Melody memang sedikit mual tadi sehabis menaiki kora-kora.
“Kalau capek
istirahat saja dulu. Biar aku yang temani Nada”. Melody berpikir sejenak dan
mengangguk. Ia tidak ingin memaksakan diri karena ia mudah sekali sakit.
♥
Calvin bahagia.
Akhirnya ia memiliki waktu berdua saja dengan Nada. Ia sangat bahagia. Ia bisa
membelikan Nada sebuah lollipop besar warna-warni yang sangat disukai Nada, ia
bisa menemani Nada bermain komedi putar, ia bisa bermain gelembung bersama Nada
dan melihat gadis itu meloncat-loncat riang untuk memecahkan gelembung-gelembung
yang dibuatnya. Calvin teramat bahagia hingga ia tak mengerti lagi apa itu
definisi duka.
♥
To: Rectroverso
Saya sangat
bahagia. Hari ini saya menghabiskan liburan dengan bermain bersama Nada.
Tentunya juga bersama dengan Melody sebagai kedok saya. Tadi dia merengek
kepada saya agar saya mau memainkan sebuah game untuk mendapatkan sebuah boneka
teddy besar. Tentu saja saya menyanggupi. Saya ingin ia terus merengek kepada
saya, karena saya akan lakukan apa pun untuknya. Dan saya berhasil, Rectoverso.
Dia terlihat sangat bahagia saat mendapatkan boneka itu. Ia memeluk saya untuk
berterimakasih. Saya sangat kaget dan deg-degan. Tak kuasa saya mengecup
keningnya. Orang-orang yang melihat kami terpana, seolah kami kakak beradik
yang sangat rukun. Sepertinya hanya saya yang merasa bahwa kami bukanlah kakak
dan adik. Cyber, saya benci menjadi rasional dan menyalahi norma. Saya hanya
ingin mencintai Nada tanpa beban.
From:
Rectroveso
Jangan terlalu
bahagia hingga melupakan definisi duka. Saya tidak melarangmu untuk merasakan
cinta. Karena itulah yang membuatmu masih bertahan hingga disini. Tapi kau
tidak dapat melakukan sebuah teori koevolusi dimana kau bisa membalikkan
konsep. Lakukan apa yang kamu suka untuk menjadi hidup, tapi berhentilah di
saat yang kamu butuhkan adalah bertahan hidup.
♥
Callista
menggelengkan kepalanya perlahan. “Jadi seperti itu rasanya menjadi seorang
pedofilia?”. Calvin mengangkat alis dan memiringkan sedikit kepalanya. “Seperti
itulah”, diambilnya secangkir kopi tiwus yang baru saja datang. Masih hangat
dan melegakan.
“Ngomong-ngomong,
bagaimana dengan Dito?. Tentunya dia hanya mengerti kau mendekati Melody yang
notaben-nya adalah incarannya, bukannya Nada, bukan?”
“Ah iya, dia
memang sempat marah waktu itu. Mendiamkanku hampir sebulan karena perkataanku
waktu itu yang tidak akan mendekati Melody. Aku sendiri tak tahu harus
bagaimana menjelaskannya, lagi pula siapa yang tahu aku akan menjadikan Melody
sebagai kedok seperti ini?. Tapi beruntungnya aku, dia begitu setia kawan dan
memperlakukanku seperti biasa lagi pada akhirnya. Aku pun hanya bisa meminta
maaf tanpa memberikan penjelasan apa pun”. Callista manggut-manggut. Sejenak
keheningan mengisi ruang diantara mereka. Masing-masing bersibuk dengan
pikirannya.
“Kau pasti
merasa aku begitu hina bukan?”, suaranya memecah keheningan.
“Tidak”
“Naif”, Calvin
tertawa kecut sambil menatap kearah lain.
“Karna kita tak
jauh beda”. Jawaban Callista itu membuat Calvin menoleh padanya.
“Maksudmu?”
“Aku dulunya..
spektrofilia”. Calvin menatap wajah cantik Callista dengan bingung. Spektrofilia. Apa itu?. Aku baru dengar. Callista
seperti bisa membaca pikiran Calvin melanjutkan, “Spektrofilia adalah kelainan seksual
dimana seseorang mencintai sosok hantu”
♥
Callista
memainkan pianonya di ruang musik sekolah yang telah sepi. Kertas-kertas berisi
partitur-partitur lagu berserakan di sekitarnya. Ia harus segera menyelesaikan
sebuah lagu buatannya ini, karena konser sekolah tinggal sebulan lagi sementara
ia diberi kewajiban untuk membuat sebuah lagu dan membawakannya secara solo di
konser nanti.
Tiba-tiba
tengkuknya merasakan hawa dingin. Diciumnya bau wangi bunga melati. Kepalanya
mulai merasakan pusing yang tak asing. Callista mendengus. Ia benci saat-saat
seperti ini. “Keluarlah jika ada hal penting yang ingin kau bicarakan padaku
atau pergilah jika tidak. Karena aku sedang sibuk dan tak ingin diganggu”,
ucapnya seorang diri di ruangan kosong itu. Tak ada jawaban. Tak ada juga
sosok yang muncul. Callista menggertakkan
giginya dengan kesal.
“Aaaaa!”, ia
berteriak kaget saat ia membalikkan badan dan didapatinya seorang lelaki telah
berdiri disana. Laki-laki itu seumuran dengannya, kulitnya pucat, matanya teduh
walaupun wajahnya terlihat begitu datar. Callista tak yakin cowok ini juga
merupakan salah satu dari sosok kasat mata yang selalu dilihatnya itu. Ia tidak
memiliki bekas luka atau tanda-tanda lainnya yang menunjukan kematiannya.
“Maaf
mengagetkanmu”, ucapnya. Kali ini ia tersenyum.
“Kau ini hantu
atau manusia?”, pertanyaan yang blak-blakan.
Laki-laki itu
terkekeh kecil. “Menurutmu?. Sebegitu seringnyakah kau melihat kami hingga tak
bisa membedakannya?”.
“Bukan begitu,
hanya saja kau tidak memiliki bekas luka atau semacamnya. Entahlah, aku juga
tak peduli. Ada apa?”
“Sebenarnya
tidak ada apa-apa. Aku hanya senang melihatmu memainkan piano dengan indahnya.
Aku tak tahu kau sebegitu sensitifnya terhadap makhluk-makhluk sepertiku hingga
bisa merasakan keberadaanku, padahal aku hanya memandangimu dari pintu itu”, ia
menunjuk pintu masuk ruang musik yang berada cukup jauh dari tempat mereka ini.
“Tiba-tiba kau menyuruhku keluar. Ya sudah, kuturuti saja. Lagipula aku juga
memang ingin berbincang denganmu”.
Callista diam.
Hanya memberikan tatapan aneh padanya sebagai jawaban. “Aku Arka”, ia tersenyum
sambil menjulurkan tangannya. Callista menatap tangan pucat itu. Sebuah perkenalan?. Dijabatnya tangan
Arka dengan ragu. Dingin. “Callista” ucapnya sambil menatap mata Arka yang
teduh.
♥
“Kau selalu
sendirian ya?”, ucap Arka. Sore ini ia mengikuti Callista yang berjalan pulang
setelah berhasil menyelesaikan lagunya. Callista menghentikan langkahnya
sejenak dan menatap kesal pada Arka. Yang ditatap malah menaikan alis, tak
mengerti akan kesalahan pertanyaannya. “Iya. Aku memang tak punya teman”, ucap
Callista cepat kemudian melangkah meninggalkannya. Arka terhenyak sesaat. Ia
merasakan tadi suara Callista bergetar saat mengatakannya.
“Memang
kenapa?”, tanya Arka saat ia berhasil mengejar langkah Callista. Walaupun ia
tahu pertanyaan ini--lagi-lagi--bisa menyinggung perasaan Callista, tapi rasa
penasarannya ternyata lebih besar daripada rasa bersalahnya. Callista tidak
menggubrisnya. “Jawab dong!”, Arka jadi kesal sendiri.
"Karena
aku bisa melihat kalian dan bicara dengan kalian. Mereka menganggap aku gila
dan mengerikan. Maka dari itu diamlah, aku tidak ingin makin banyak orang
mengiraku gila karna aku bicara sendirian", Callista akhirnya berucap
pelan setelah berbelok di jalanan yang sepi. "Aneh. Bukankah itu keren?. Menjadi
seorang mediator sepertimu maksudku, bukankah itu keren?"
"Oh.
Mediator itu kata yang lebih halus untuk menyebut seorang indigo ya?",
jawabnya sinis. Arka terdiam sementara Callista terus berjalan. Ia memandangi
punggung yang kian menjauh itu. Gadis
aneh. Bukannya bersyukur dengan kemampuannya, malah marah-marah sendiri.
Ia menahan
nafas untuk beberapa saat ketika Arka tiba-tiba muncul didepannya. Dalam hati
ia memaki para hantu yang dengan mudah muncul dimana-mana. "Apa
lagi?"
"Kalau
begitu aku akan jadi temanmu"
"Apa kau
bilang?"
"Bodoh,
aku akan jadi temanmu"
"Tidak,
terimakasih", Callista beranjak pergi melewati Arka. Ia ingin segera
sampai di rumah dan meninggalkan hantu sinting itu. "Ya kalau tidak mau,
aku akan jadi sahabatmu saja!". Callista segera membalikan tubuh mendengar
teriakan Arka tadi. "Sinting dasar sinting!!!", ia
menghentak-hentakan kakinya dengan kesal saat Arka sudah menghilang tak
berbekas sebelum ia sempat memaki-makinya.
♥
To: Rectroverso
Hai, Cyber
Avatar. Saya seorang remaja perempuan, berumur 17 tahun. Saya memiliki mata
yang berbeda dengan orang lain. Saya bisa melihat makhluk kasat mata. Entah ini
sebuah kutukan atau anugrah. Tapi karna hal inilah saya tidak memiliki teman.
Mereka menganggap saya gila dan mengerikan. Rectroverso, bukankah semua orang
tidak bisa memilih kelahirannya? Sama seperti saya yang tidak bisa menolak
untuk menjadi seorang indigo?
<send>
From:
Rectroverso
Kelahiran
memang bukanlah sebuah pilihan. Tapi hidup adalah sebuah pilihan. Jangan
katakan kau tak punya pilihan, karna saat kau tak memilih pun itu adalah
pilihanmu. Dan bagaimana semua ini akan berjalan. Kau sendiri yang tahu
jawabannya.
To: Rectroverso
Rectroverso, terimakasih untuk jawaban kemarin.
Hari ini sepertinya saya diberi tambahan pilihan lagi. Seseorang menawarkan
untuk menjadi sahabat saya. Baiklah, bukan seseorang namun sesosok hantu.
Namanya Arka. Saya masih tak tahu akan mengiyakannya atau tidak. Tapi sepertinya
saya membutuhkannya.
<send>
♥
"Jadi, kau
akhirnya bersahabat dengannya?", Calvin bertanya dengan penuh
ketertarikan. "Begitulah". Calvin manggut-manggut, diambilnya kopi
tiwus yang tinggal setengah itu.
"Lalu
bagaimana kau bisa jatuh cinta padanya?"
"Dengan
menjadi cinta. Hahahah"
♥
Apakah banyak
pasangan yang jatuh cinta saat senja hari?. Kalau iya, mereka salah satunya.
Senja hari itu, Callista menghabiskannya bersama Arka. Tadi siang Arka
mengajaknya ke sebuah gedung asing di atas bukit. Ternyata, gedung itu adalah
tempat orkestra kecil milik keluarga Arka yang sudah jarang dipakai. Apalagi
semenjak Arka meninggal, karna ia lah yang paling sering bermain disana.
"Duduklah
disampingku", Arka menepuk bangku piano yang ia duduki. Callista
menurutinya. "Watch and learn",
ucap Arka. Ia menghadapkan dirinya pada piano besar yang sudah lama tak ia
mainkan. Dihelanya nafas, dan tak lama jari-jarinya bermain-main di tuts-tuts
piano itu. Alunan merdu suara piano memenuhi ruangan. Callista memejamkan mata
ikut meresapi setiap nada-nada indah. Lagu ini membuatnya membayangkan sebuah
padang bunga berwarna-warni, dengan langit biru tanpa awan, siraman matahari
yang menghangatkan hati. Tiba-tiba lagu itu terhenti, membuat Callista membuka
kembali matanya.
"Lagu ini hanya
kumainkan untuk wanita yang aku sayangi", ucap Arka dengan senyum merekah.
Sekejap, pipi Callista memerah, senada dengan warna matahari di senja itu.
"Kau pernah memainkannya berapa kali?", ucap Callista tanpa berani
menatap mata Arka. "Kau yang kedua". Kukira hanya aku, Callista kecewa dalam hati.
"Yang
pertama adalah ibuku". Mendengarnya Callista langsung menoleh kearah Arka.
Gerakan yang terlalu tergesa hingga membuat Arka sadar bahwa Callista sempat
cemburu tadi. Ia terkekeh. Dirangkulnya gadis itu dan dijitaknya pelan.
"Haha!. Dasar cemburuan!". Callista menyubit lengan Arka yang
merangkulnya. Dasar, ini anak nggak
pernah bisa romantis!, makinya dalam hati. "Arka sinting!",
ucapnya yang kemudian keluar dari gedung itu.
"Ta,
begitu saja marah", ucap Arka yang untuk kesekian kalinya muncul secara
tiba-tiba dihadapan Callista. Callista mendengus. Ia lupa Arka bisa dengan
mudah muncul dimana-mana. Jadi percuma saja ia lari. "Ikutlah denganku,
aku ingin menunjukan sesuatu. Arka mengajaknya ke belakang gedung, disana
terdapat sebuah taman bunga kecil yang berwarna-warni. Mereka duduk
ditengah-tengah taman, menghadap kearah matahari yang mulai berpamitan.
"Indah..",
gumam Callista. Ini seperti yang ia bayangkan tadi. Taman bunga berwarna-warni,
siraman sinar matahari, hanya bedanya ini ada senja dan Arka. Tapi tak apa,
lagipula Callista lebih suka yang satu ini daripada yang dibayangannya tadi.
"Ka,
ngomong-ngomong apa yang membuatmu tiada?", seperti biasa, Callista selalu
bertanya terang-terangan. Arka terdiam sejenak.
"Orang
tuaku bercerai sementara aku adalah anak tunggal. Aku yang terlalu lembek ini
pun bunuh diri dengan meminum racun. Jadilah sudah"
Hening
tercipta. Arka tak tahu apa yang Callista pikirkan setelah mendengar
jawabannya. Ia pikir gadis ini akan menanyakan pula kenapa orang tuanya
bercerai dan blablabla. Tapi ternyata tidak.
"Oh,
begitu?. Dasar bodoh memang, kau ini. Tapi, pantas saja ya, kau tidak punya
bekas luka seperti yang lainnya"
"Pantas
saja aku tetap tampan, maksudmu?", seru Arka jahil.
"Iya. Ah?!
Nggak! Idih, jangan GR!", Callista yang gelagapan dengan jawabannya
sendiri membuat Arka terpingkal-pingkal. Sementara Callista manyun karena
kebodohannya barusan.
"Callista?",
Arka tiba-tiba berucap lembut setelah sebelumnya terpingkal keras. Callista
menoleh padanya. Arka menatapnya dalam. Mata yang teduh itu membuatnya terbuai.
Dirasakannya tangan Arka yang dingin menggenggam jemarinya. "Aku
menyayangimu. Bolehkah aku?"
Callista hanya
terdiam. Ia tak tahu apakah itu sebuah pernyataan ataukah sebuah pertanyaan
dari Arka. Yang ia tahu adalah Arka yang kemudian mendekapnya dengan sayang dan
ia sangat nyaman dengan itu. Senja, aku
jatuh cinta..
Dalam
dekapan itu tiba-tiba Arka berbisik. "Callista, salahkah ini?".
Pertanyaan yang membuyarkan kebahagiaan Callista. "Harusnya aku yang
berkata seperti itu, Ka. Bukan kau"
"Maafkan
aku, tak seharusnya aku sebodoh itu dulu. Tak seharusnya aku bunuh diri".
Hati Callista menangis. Ia tak ingin mendengar penyesalan Arka yang bunuh diri.
Bukan, bukan itu yang tak ingin ia dengar, ia sendiri pun menyesalkan kenapa
mereka berada di dunia yang berbeda sekarang. Yang tak ingin ia dengar adalah
pembenaran bahwa ia menyalahi norma. Pembenaran bahwa cintanya terlarang.
"Jangan
begitu. Ironinya, kalau kau tak meninggal, kita tak akan bisa bertemu".
Callista berucap lirih. Ia beruntung suara terakhirnya itu bisa keluar ditengah
tangis dalam hatinya. Selanjutnya, ia hanya mampu memeluk Arka lebih erat lagi.
♥
To: Rectroverso
Memeluknya
bagaikan memeluk sebuah pohon kaktus. Semakin erat, semakin menyakitkan. Tapi
saya tetap tak sanggup untuk melepaskan. Padahal saya sendiri tahu, semakin
saya menyayanginya semakin saya harus melepasnya. Saya benci rasionalitas. Saya
benci menyalahi norma. Saya benci memiliki cinta yang terlarang.
<send>
From:
Rectroverso
Jangan salahkan
rasionalitas yang tetap bisa menjaga warasmu. Jangan pernah membenci apa pun
selagi kau belum mengerti apa arti dibaliknya. Saya ingatkan, segalanya hanya
tentang pilihan dan kau sendiri.
♥
"Ironis".
Callista tersenyum simpul. Tak perlu Calvin ucapkan pun semua yang
mengetahuinya akan berkata hal yang sama. "Oh iya, ngomong-ngomong kau
harus coba coffee latte disini", kata Calvin. Lelaki itu kemudian
memanggil seorang pelayan dan memesan dua cangkir coffee late.
"Vin",
panggil Callista setelah pelayan itu pergi.
"Ya?"
"Bagaimana
akhir cerita si pedofilia itu?"
♥
Nada kecelakaan. Dengan cemas ia segera menuju
UGD di rumah sakit dimana Nada dilarikan. Ia berlari dengan tergesa.
"Mel,
gimana?". Melody berada di depan pintu UGD sambil menangis seorang diri.
Ia tentunya sama khawatirnya dengan Calvin. Melody memeluk Calvin dalam
kekalutannya. "Vin, aku takut, Vin", serunya dalam tangis. Calvin
hanya sanggup menepuk-nepuk punggung Melody untuk menenangkannya. Ia tak bisa
mengucapkan apa pun sekarang. Otaknya buntu, yang ia pikirkan hanya keadaan
Nada.
Para crew medis
baru saja keluar dari ruang UGD. "Kalian keluarganya?", ucap salah
seorang dokter. "Kami kakaknya", balas Calvin. "Keadaannya
baik-baik saja. Tinggal menunggu ia siuman. Dimana orangtuanya?"
"Mereka
akan datang besok. Mereka masih di Hongkong". Dokter itu hanya mengangguk
dan meninggalkan mereka.
"Kau
tenangkan dirimu dulu. Mandi kemudian makan di rumah. Setelah itu kembali
kesini--Tidak, jangan menyela dulu. Percayalah padaku, aku akan menjaga Nada
sementara kau mengurus dirimu sendiri. Jangan sampai kau kenapa-kenapa, kau
juga kan yang harus mengurus Nada?". Melody mengangguk lemah. Calvin benar
dan lagi pula dia memang sedang tak ingin berdebat, jadilah ia pulang ke
rumahnya.
Calvin memasuki
ruangan itu dan mendapati Nada terkulai lemas. Hatinya remuk redam melihat
keadaan Nada saat ini. Calvin duduk disamping ranjang Nada. Digenggamnya erat
tangan mungil itu. "Dik, cepat siuman ya.. Jangan kenapa-kenapa lagi.
Jangan buat kakak takut lagi. Kamu harus segera sembuh. Nanti kakak belikan
lolipop yang besar, nanti kita main-main gelembung lagi, nanti kita habiskan
waktu bersama. Bersenang-senang!", suara Calvin tertahan. "Nada.. Aku
ingin memanggilmu Nada bukan 'adik'. Dan aku ingin kau memanggilku Calvin,
bukan 'kakak'. Nada, ini memang salah, dan aku yakin kau belum mengerti. Tapi
tak apa, aku toh tak memintamu mengerti. Nada, jangan tinggalkan aku. Cepatlah
sadar. Cepatlah kembali ceria, cepatlah kembali merengek padaku. Melihatmu
seperti ini saja hatiku sudah hancur, Nad", nafas Calvin tergesa. Segala
perasaan bergejolak dalam hatinya.
"Nada.. Maafkan aku, tapi aku mencintaimu!", Calvin mengecup
tangan mungil itu. Akhirnya ia mengatakannya..
Melody
terkesiap dengan apa yang ia lihat dan dengar barusan. Ternyata pilihannya
untuk kembali ke UGD dan mengambil barangnya yang ketinggalan itu salah. Salah,
sangat salah. Karena ia--mau tak mau--harus mendengar pengakuan terlarang dari
lelaki yang teramat dicintainya. Ternyata pikiran-pikiran yang selama ini ia
pikir adalah sebuah kegilaan merupakan sebuah kenyataan. Melody meringis
merasakan hatinya yang teriris. Seluruh tubuhnya bergetar. Ternyata Calvin
seorang pedofilia. Ternyata yang dicintainya adalah Nada, adiknya. Ternyata...
Ternyata.. Ternyata ia bodoh selama ini.
♥
"Kau
melihat Melody di pintu ruangan??"
"Iya dan
ia menangis. Aku benar-benar merasa bersalah saat itu"
"Itu
sakit, Vin. Sangat."
"Ya
bagaimana lagi?. Cinta tak bisa dipaksakan".
"Ya ya,
aku mengerti. Lalu bagaimana dengan Melody selanjutnya?"
"Dia tentu
saja sangat terpukul. Ia melihat dan mendengar apa yang kukatakan dari awal
sampai akhir. Tapi yang membuat aku merasa bersalah lagi, ia berjanji padaku
untuk tidak akan mengatakan pada orang lain bahwa aku seorang pedofilia. Itu
semata karna ia sudah terlanjur mencintaiku dengan tulus". Callista
mendecakan lidah. Cinta memang dengan
mudah membuatmu buta. "Dan Melody tetap menyimpan janjinya itu?"
"Ya,
hingga ia mengorbankan dirinya sendiri untuk janji itu"
"Maksudmu?"
"Ia
mengalami depresi karna tak sanggup menerima itu sendirian. Tapi ia tetap
memegang janjinya. Itulah yang membuatku merasa sangat bersalah. Aku sungguh
egois dengan perasaanku. Makanya, aku menghubungi sekelompok psikiater untuk
menyembuhkanku dari kelainan ini. Tentunya tanpa sepengetahuan keluargaku. Dan
jadilah aku sekarang, mantan pedofilia"
"Aku masih
tak mengerti kenapa akulah yang menjadi orang seberuntung itu?. Yang begitu mudah
dimaafkan oleh Dito. Yang begitu mudah mendapatkan pengorbanan cinta dari
seorang Melody yang hampir sempurna. Harusnya ada orang lain yang lebih berhak
untuk itu"
"Cukuplah
jadi pelajaran untukmu. Lagipula, kalau tak begitu kau tak akan normal seperti
ini kan?. Dan lagi, Melody.. ia membuktikan bahwa sesuatu yang berlebihan tak
pernah baik"
Calvin menghela
nafas panjang. Dimatanya melayang-layang beribu kata maaf dan rasa bersalah.
"Bagaimana
denganmu Call?", tanyanya tiba-tiba.
"Aku?"
"Kau dan
Arka. Atau jangan-jangan kau masih.."
"Tidak
lah!. Aku sudah bertobat dan sadar"
"So let me know, girl"
"Sejak
bertahun-tahun aku selalu berdoa pada Tuhan. Untuk mencari jawaban siapa Arka
sebenarnya, apa tujuanku dapat melihat semua ini dan bagaimana aku harus menghadapi
perasaan ini. Kulakukan terus hingga akhirnya Tuhan menjawabnya"
"Ketika
retret gereja, aku berkesempatan berbincang dengan pendetaku. Kami larut dalam
berbagai pembicaraan. Hingga akhirnya, entah apa yang mendorongku saat itu, aku
menceritakan segalanya dari awal hingga akhir"
♥
"Callista,
orang-orang yang bercampur tangan dengan roh-roh atau arwah-arwah sama saja
mencemari rohnya sendiri. Dan bila kau meneruskannya, sekalipun kau melakukan
hal-hal baik, rohmu akan cemar"
"Jadi
semua ini salah?"
"Kau tahu
benar dimana kesalahannya"
"Tapi saya
merasa lebih dekat Tuhan setelah ia ada dalam hidup saya, Pak"
"Ada
kalanya mereka berlagak seperti seorang malaikat, mengerti?. Begini Callista,
satu yang saya tekankan. Kita sudah diajarkan untuk tidak mengorbankan iman dan
ketaatan kepada Bapa karena apa pun alasannya. Apalagi untuk cinta yang seperti
ini. Kasih pun tak ada yang menggolongkan hal yang kau alami ini". Hening
sejenak. Callista sendiri diam, pikirannya terombang-ambing.
"Bagaimana
saya mengakhiri semua ini?"
"Dengan
mengakhirinya. Tim doa bisa mendoakanmu. Tapi kamu juga harus berusaha lepas
darinya. Gunakan kemampuan yang kamu miliki itu dengan bijaksana. Jangan sampai
membawamu ke jalan yang salah seperti ini. Bapa punya maksud yang lain, Nak.
Tapi bukan yang ini"
♥
"Aku
melakukannya. Aku berusaha menjauh dari Arka. Aku terus berdoa pada Tuhan agar
aku bisa lepas dari sini. Aku sadar bahwa aku sudah salah langkah. Tidak,
sebenarnya aku sudah menyadari kesalahanku sejak dulu. Hanya saja aku tak ingin
mengakuinya. Karena... Aku kesepian"
"Aku
mungkin sanggup menyalahi norma. Tapi tidak dengan menyalahi iman. Aku tak akan
mengorbankan imanku demi apa pun".
"Bagaimana
dengan Arka?"
"Awalnya
ia heran, karna aku benar-benar bersikap dingin padanya. Ia juga sempat marah
dan 'menyerangku'. Dan aku hanya bisa berdoa dan mempertahankan imanku,
membiarkan Tuhan yang bekerja. Lambat laun dia benar-benar tak pernah datang
padaku. Awalnya aku masih merasa sepi dan begitu merindukannya. Tapi aku
menampik semua itu dan jadilah sekarang. Aku diberkati. Aku tak kesepian, punya
banyak teman, bahagia, dan beriman. Hahah"
Calvin
tersenyum mendengar happy ending dari kedua cerita ini. Tiba-tiba seorang
pelayan datang dan membawakan coffee latte mereka. Callista mengambil satu
diantaranya. Kehangatan kopi menjalar pelan di buku-buku jarinya. Diseduhnya
kopi itu pelan-pelan. Ia memejamkan mata, menghayati sensasi rasa di lidahnya. Kopi ini...
"Menenangkan,
bukan?", kata Calvin tiba-tiba seperti dapat membaca pikirannya. Callista
membuka mata dan melihat Calvin tersenyum. DEG!. Jantungnya berdegub keras.
Calvin seperti malaikat. DEG!. Sejak kapan ia menyukai senyum itu?.
"Bagaimana
kau bisa tahu pikiranku?", Callista menyeringai dengan tawa dibuat-buat.
Calvin melihat manisnya senyum Callista itu. DEG!. Jantungnya berdegub. Ada
yang aneh.. DEG!. Sejak kapan ia menyukai senyum wanita ini?.
"Benarkah?.
Kalau begitu berpikirlah sesuatu dan aku akan menjawabnya pula dalam
pikiranku"
"Bertelepati?.
Oh, baiklah"
Senja, sepertinya aku jatuh cinta dengan
lelaki ini..
Senja, sepertinya aku juga jatuh cinta
dengan gadis ini..
Tiba-tiba
pandangan mereka bertemu. Begitu dalam dan penuh arti. Sepertinya mereka saling
mengisyaratkan bahwa mereka mengerti pikiran masing-masing.
"Aku
mencintaimu Callista, ada pertanyaan?", ucapan Calvin tegas dan spontan.
Membuat Callista tehenyak sesaat dan kemudian ikut tersenyum saat melihat
lelaki ini memamerkan manis senyumnya.
"Ada, kenapa
kau berani menceritakan padaku bahwa dulunya kau seorang pedofilia?"
"Karna aku
ingin membuktikan pada diriku sendiri bahwa kau bisa menerimaku apa adanya. And so do you, right?". Callista
mengangguk mantab. Memang itu pula yang mendorongnya untuk berani menceritakan
pada Calvin tentang masa lalunya. Untuk membuktikan bahwa ia tak salah orang,
Calvinlah yang bisa menerimanya.
"Kalau
begitu, aku juga mencintaimu"
♥
"Ngomong-ngomong,
Vin. Siapa ya rectroverso itu?". Calvin mengendikan bahu.
"Entahlah"
"Tapi yang
terpenting kan siapa kita sekarang", Calvin terkekeh kecil sembari
menggandeng tangan Callista keluar kedai kopi. "Tapi aku penasaran
juga".
♥
Sedari tadi aku
mengamati mereka didalam kedai kopi kecil ini. Lelaki pedofilia dan gadis
spektrofilia. Senang sekali mengenal kalian, hai, para pemabuk cinta. Tak
kusangka aku bisa bertemu kalian dengan kebetulan disini, secara bersamaan.
Ternyata kalian saling membicarakan masa lalu. Berbagi kisah kelam dan memulai
kisah baru bersama. Terimakasih sudah menjadi dua inspirasiku yang fantastis.
Jemariku kini sibuk bermain dengan keyboard laptop. Menuliskan kisah kalian.
Rectroverso.
Saturday, May 4, 2013
Duta Anak 2013
rasanya masuk ke hal baru itu aneh ya?. bener-bener buta. bener-bener belajar. aneh deh pokoknya.
that day bu heni asked me to join children ambassador enrollment. baru kemarin kamis itu. and it was so awkward and quite surprising to me. soalnya sabtu adalah D-day nya. dan hari ini aku seharian ikut enrollment-nya itu.
sebelumnya aku mikir. If this is the way, so it be. kalo emang lewat jalan ini Tuhan mau aku bantuin lebih banyak orang (terutama anak-anak) so I'll do.. dan ternyata...
actually, this is the way He wants. this the way that he planned to me. Aku yakin ini akan berat. aku yakin aku bakal lebih sibuk. aku yakin resikonya aku bakal lebih keteteran lagi. Tapi, aku nggak mau membuat semua solusiku buat hak2 anak itu just a bullshit. Aku emang masih rookie. Tapi yang penting apa tujuanku dan konsitensiku. Jangan sampe aku mulai males dan ga disiplin lagi!. amin!.
and last, Jesus. Bless me in all my way ya?. I just wanna do all the things to glorify Your name. Amen amen amen!. In the name of God!
that day bu heni asked me to join children ambassador enrollment. baru kemarin kamis itu. and it was so awkward and quite surprising to me. soalnya sabtu adalah D-day nya. dan hari ini aku seharian ikut enrollment-nya itu.
sebelumnya aku mikir. If this is the way, so it be. kalo emang lewat jalan ini Tuhan mau aku bantuin lebih banyak orang (terutama anak-anak) so I'll do.. dan ternyata...
CONGRATULATION ! DUTA ANAK 2013.
actually, this is the way He wants. this the way that he planned to me. Aku yakin ini akan berat. aku yakin aku bakal lebih sibuk. aku yakin resikonya aku bakal lebih keteteran lagi. Tapi, aku nggak mau membuat semua solusiku buat hak2 anak itu just a bullshit. Aku emang masih rookie. Tapi yang penting apa tujuanku dan konsitensiku. Jangan sampe aku mulai males dan ga disiplin lagi!. amin!.
and last, Jesus. Bless me in all my way ya?. I just wanna do all the things to glorify Your name. Amen amen amen!. In the name of God!
Your daughter :*
Subscribe to:
Posts (Atom)