“oke, hari ini
kita latihan passing. Seperti biasa kalian latihan passing ditempat dulu saja.
Nanti baru passing ke temannya. Silahkan cari pasangan dan ambil bola”, jelas
Pak Markus. Seperti biasa, Kay langsung bergabung dengan Tisha.
“siapa
duluan?”, tanya Tisha yang sudah kembali setelah mengambil bola di keranjang. Kay
hanya nyengir kuda untuk menjawabnya. Tisha langsung melengos melihat respon
tersebut.
“kenapa harus
gue duluan terus sih?”, gerutunya.
“kan elo tau,
Tish gue itu bego banget soal ini. hehe”. Yup, nggak bisa dipungkiri kalo temen
Kay yang satu ini adalah pakarnya voli dan Kay adalah sampahnya voli.
“nih giliran
lo!”, ucap Tisha sambil melempar bola ke arah Kay. Kay segera menerimanya
dengan sigap—secara .. kapten basket gitu.
“cepet banget
lo udah dapet lima puluh? Ini kan satu menit belum ada?!!”, seru Kay histeris.
“udah deh
bawel cepet kerjain tuh tugas lo”. Kay hanya manyun dan menatap bola yang
dipegangnya kini. Ia menghela nafas kemudian bersiap untuk melemparkan benda
bulat itu ke atas. Namun Kay segera mengurungkan niatnya.
“elo ngapa
berdiri di depan gue?!”, seru Kay naik pitam saat tiba-tiba Ryan berdiri di
depannya dengan bersedekap tangan.
“nggak, gue
cuma mau liat elo aja”, ucap Ryan dengan lembut. Alis Kay saling bertaut.
Kenapa Ryan bisa ngomong selembut itu?. buat
liat gue?? Maksudnya ...
“gue mau liat,
emang elo mampu??”, ucap Ryan sambil mengangkat kedua alisnya dengan tampang
pongah. Mulut Kay langsung menganga lebar. Apa maksud omongannya tadi??.
Emang-elo-mampu? Mampu?? MAMPU?. Dia kira
gue selemah itu apa?!. Sumpah, kurang
ajar banget ni cowok!!!.
“elo!!”, ucap
Kay sambil mengacungkan telunjuknya di depan muka Ryan. Ryan malah menampilkan
sebuah senyum licik dan pergi dari tempat itu. arrggghhh!! dasar elo seta ..
Kay secepat
kilat menghapus air matanya. Ahh .. apaan
sih nih? Buat apa gue nangisin cowok songong kayak dia?!!
ê
“Duh, tempat minum gue kemana sih?”, ucap Kay
sambil terus mengaduk-aduk isi tasnya.
“o.. iya! Gue lupa!”, seru Kay kaget seraya menghentikan langkahnya.
“apaan?”, seru Angel, teman satu timnya.
“tempat minum gue ketinggalan di GOR !”, ucapnya sambil berlari.
“Kita jalan duluan ya!”
teriak Angel dari kejauhan. Kay hanya mengangkat ibu jarinya
keatas, tanda setuju.
Sekembalinya ia ke GOR, keadaan sudah hening.
Beginilah suasana di GOR setelah selesai latihan basket. Ia menapakan kaki di depan pintu ruangan tersebut dan segera
membukanya. Ia menengok ke seluruh penjuru ruangan, tak ada siapa-siapa. “Nah, itu dia!” seru Kay girang saat melihat tempat minum hijau bercorak bintang kesayangannya.
Ternyata benda itu teronggok diujung kursi pemain dekat pintu masuk. Kay segera mengambil tempat minum itu kemudian melangkah ke luar GOR.
Baru saja Kay menggerakan kakinya beberapa
langkah keluar dari GOR, tiba-tiba hidungnya terasa sakit. Panas dan perih!. Ia
dapat merasakan ada cairan yang keluar dari hidungnya perlahan-lahan. Ia
memegang hidungnya untuk memastikan apa yang sedang terjadi. “Shit, darah!”, Kay terhenyak. Ia langsung duduk di tangga didekatnya—satu-satunya tempat yang
paling mudah dijangkaunya. Ia mencoba untuk tenang. Tak tahu kenapa, dari kecil
Kay selalu panik kalau mimisan. Kay menundukan kepalanya,
berharap kesakitan dan kepanikannya hilang. Ia dapat melihat semakin lama
darahnya menetes makin deras.
ê
“coba kalo sepupu gue nggak cerewet kayak
Mitha. Hoh! dasar deh tu anak lebay, cuma novel begituan aja yang ketinggalan
pake ngamuk-ngamuk. Suruh ambil ke sekolah segala lagi. Harusnya kan gue
menikmati masa-masa liburan yang indah”, gerutu Ryan. Hari ini ia
berniat—sebenarnya kalau nggak dipaksa Mitha dia juga nggak bakal minat—untuk
mengambil buku kakak sepupunya yang ketinggalan di GOR
waktu pelajaran olahraga kemarin.
Kemarin Mitha ngamuk-ngamuk ke Ryan karna novel kesayangannya yang dipinjam Ryan —katanya sih buat bikin
tugas, tapi Mitha nggak yakin juga. Sejak kapan tu anak rajin banget?— malah
ditinggal gitu aja di Gedung Olahraga.
“itu novel romantiiiissss banget, Ryan”, ucap Mitha dengan wajah yang berbunga-bunga dan nada sok dramatis. Ryan mengangkat alisnya heran melihat sepupunya yang menjadi korban roman
picisan itu.
“jadi, loe harus balikin novel itu jangan sampe
ilang!!. loe harus ambil di sekolah besok!”, jelas Mitha menggebu-gebu.
“eeh .. nggak bisa dong!. Tommorow is Saturday, do you remember that??.
Itu artinya gue libur!”, sergah Ryan membela diri.
“heh bule kacangan, gue
nggak mau tau!. Salah
elo dong ninggalin tu novel di GOR. Pokoknya harus ambil besok atau loe harus
ganti tu novel pake uang jajan lu selama sebulan!”, ujar Mitha yang kemudian
pergi.
“sepi banget?. Bukannya hari ini ada latihan
basket ya katanya?”, ujar Ryan saat ia mulai dekat dengan
GOR. Langkahnya terhenti melihat sesosok gadis yang terduduk di tangga. “Kay? Napa lagi tu monyet?”, batinnya. Ia pun melangkah perlahan mendekatinya. Semakin dekat ke
arahnya, Ryan melihat bercak darah berceceran di sekitar Kay. Dahinya berkerut panik. Ia
berhenti dihadapan Kay. Mengamatinya beberapa saat
untuk mengetahui apa yang terjadi pada gadis ini.
dari kecil dia selalu panik kalo mimisan..
Kalimat itu seketika terbesit dalam ingatan Ryan. Ia merogoh sakunya. Menyodorkan sebuah sapu tangan warna biru
langit kesayangannya pada Kay. Kay langsung menyambar sapu tangan itu dan membersihkan darah yang mengalir
tanpa menatap pemilik sapu tangan itu. Ryan bisa mendengar perlahan-lahan
nafas Kay menjadi stabil. Jangan takut Kay, selama ada aku kamu aman, ucap hati
kecil Ryan.
“makas ..”, Kay membelalakan matanya saat
melihat Ryan. Amarah Kay langsung meledak melihat
setan jadi-jadian di depannya ini—ingat saja, walaupun Ryan baru saja
menolongnya tapi itu nggak akan menghapuskan kata ‘emang elo mampu’-nya si Rian
kemarin. Nggak akan!.
Tetapi, saat mata mereka bersetatap, seketika amarah itu berubah
menjadi rindu yang teramat dalam. Kay tenggelam dalam mata itu. Ia dapat
melihat keteduhan disana. Tatapan yang sama. Tatapan masa lalu yang selalu
menghangatkan relung hatinya itu kini berada dihadapannya. Ia seperti kembali.
Masa lalu yang telah dipendamnya dalam-dalam seketika menyelimuti benaknya. Jakarta
.. 5 tahun lalu .. tawanya yang khas .. sosok itu ..
“apa liatin gue? Tampang elo tu bloon!”, ucap Ryan ketus seraya
melangkah meninggalkan Kay. Kay hanya diam. Kalo ini dirinya yang asli ia pasti
dia udah menjak-menjak sambil mulut maju mundur mengomeli si Ryan. Tapi kali
ini Kay membungkam. Ada sesuatu yang berdesir di dalam hatinya. Ia seperti tidak
rela Ryan meninggalkannya. Ada yang mendorongnya untuk mencegah Ryan beranjak.
Ryan membalikkan badan dan menatap tangan Kay. Kay segera melepas
genggamannya. Ia tertegun, ia tidak tahu kenapa ia bisa melakukan hal itu. Itu
seperti refleks!.
Keadaan menjadi hening. Kay menggigit bibirnya. Ia tak mengerti akan
perasaannya saat ini. sosok dihadapannya ini .. ia seperti datang untuk
menghancurkan pondasi hatinya. Membuka masa lalu kelamnya. Dan menghujamnya
lebih sakit lagi. Kenangan itu seperti kembali dalam wujud nyata. Berusaha
membelitnya lebih kuat. Berusaha melenyapkan kekuatan Kay untuk membuka
lembaran hidup yang baru dan lepas dari belenggu masa lalu itu.
ê
Ryan membalikkan badan saat merasakan tangannya tertahan. Ia menatapi
jemari Kayla yang tengah menahan tangannya. Entah kenapa, jantungnya sempat
berdegup lebih cepat. Tiba-tiba, Kay melepas genggaman tangannya secepat kilat.
Dan secepat itu pula, terbesit sedikit perasaan kecewa di hati Ryan.
Gadis yang terduduk dihadapannya itu kini hanya terdiam. Kepalanya
tertunduk cukup lama. Ryan tak tahu apa yang tengah terjadi pada Kay, ia pun
memutuskan untuk tetap diam. Tapi melihat Kay yang terus terdiam membuatnya
merasa khawatir. Ia pun berjongkok untuk menyejajarkan tubuhnya didepan Kay
yang masih menunduk lemas. “Kay..”, gumam Ryan pelan. Ryan kaget sendiri menyadari
dirinya menggumamkan nama itu. Kay mengangkat kepala. Kay menatap lurus ke arah
matanya. Sekilas Ryan dapat melihat kilatan putus asa di mata Kay. Dan sedetik
kemudian setetes air mata bergulir. Hati Ryan serasa terhujam saat melihat
tetes air mata Kay. Seketika tangannya bergerak dan mengusap air mata Kay.
Dengan cepat Kay segera berkilah. Badannya sedikit gemetar. Entah, Ryan
tak tahu apa. Kayla seperti ketakutan.
“jangan pegang gue!”, ucap Kay ketus. Kemudian berdiri dan segera
meninggalkan Ryan. Ryan hanya memejamkan mata saat Kay melangkah pergi. Oh damn! What’s happened with me?, umpat Ryan dalam hati.
ê
Kay mengguling-gulingkan badannya diatas kasur, menandakan hati dan
pikirannya yang nggak keruan. Otaknya kini bak sebuah gedung opera yang tengah
memainkan permainan teatrikal yang terjadi tadi siang. Antara ia dan Ryan.
Ryan, siapa sih dia?. Kay sama sekali nggak ngerti gimana jalan pikiran cowok
itu. Cowok aneh. Kadang ia begitu ketus, nggak berperasaan, tapi ia bisa dengan
mudah berubah menjadi Ryan yang lain. Yang perhatian, lembut, dan kadang
overprotective. Fine, gue nggak peduli
dia punya kepribadian ganda atau gimana, batin Kay. Tapi ada satu hal yang
tak bisa Kay enyahkan dalam pikirannya tentang Ryan. Tatapan matanya. Hal itu.
Tatapan yang membangkitkan semua kenangan lampau yang telah ia kubur
dalam-dalam. Bahkan ia tak hanya membangkitkan masa lalu sialan itu, tapi Ryan
pula yang secara perlahan membuat benteng pertahanan Kay yang telah ia bangun
diatas kenangan itu menjadi retak. Sedikit demi sedikit.
Kay memejamkan matanya dan melipat bibir. Ryan .. ryan .. ryan .. .
Kenapa ia bisa begitu mudahnya menangis hanya dengan sepasang manik mata itu?.
Kay merasakan sudut-sudut hatinya tertusuk saat ia mengingat cara Ryan
menatapnya. Dan seketika itu pula masa lalu itu berputar kembali.
“asal kamu bisa
senyum itu udah bikin aku enggak capek kok ..”, ujarnya sambil tersenyum ke
arahku. Sudut-sudut bibirku membentuk sebuah senyuman manis. Aku memandanginya
yang mengayuh sepeda sambil memboncengkanku. Dia memang begitu mengerti aku. Ia
mau lakukan apa saja untukku sekalipun aku tak memintanya.
Kay menggigit bibirnya. Ia tak sanggup dan tak mau untuk mengingat
kejadian berikutnya. Ia dapat merasakan matanya yang memanas. Kay bukanlah
gadis yang lemah, hanya saja inilah kelemahannya. Dan hanya hal inilah yang
dapat membuatnya menangis.
Ia turun dari tempat tidurnya menuju ke lemari bajunya. Ia segera
membuka laci tersembunyi yang ada di lemari itu dan mengambil sebuah kotak usang
miliknya. Kotak yang sama dengan yang dimiliki oleh seseorang yang kini entah
dimana. Kay menghela nafas penyesalannya untuk kesekian kali. Maafkan aku ..
Older part :
Ryan Tears part 4