Changed
Ini adalah liburan yang luar biasa
membosankan. Seperti biasa, aku hanya akan berdiam diri di rumah, dan lagipula
aku juga tidak mood untuk bepergian.
Akhirnya, setelah berulang kali mama mengomeliku—dan aku baru saja
sadar—tentang kamarku yang menyaingi kapal titanic yang karam, aku pun
memutuskan untuk membereskan kamar kecil itu. Yah .. selagi liburan ini masih
berlangsung agak lama.
Lap? Ready. Kemoceng? Ready.
Sapu? Ready. Check!. Aku pun segera beranjak menuju kamar setelah persenjataanku
siap. Tempat pertama yang aku datangi adalah rak buku. Secara aku seorang
pecinta buku jadi aku ingin tempat yang gue banget itu bersih duluan. Tanganku
mulai beraksi membongkar buku-buku yang sudah tidak karuan penempatannya. Aku
bersin seribu kali saat aku membersihkan sebuah album foto besar yang mulai
diselubungi debu. Entahlah, hidungku ini begitu sensitive dengan debu. Aku
melihat album itu lagi. Aku masih ingat, ini album keluarga besarku. Karena
album ini menarik perhatianku—dan karena dari dasar aku adalah orang
pemalas—aku memilih untuk melihat-lihat album
foto ini sebentar. Tentu saja “sebentar” dalam definisiku sendiri.
Aku membuka halaman pertama album
tersebut dan mendapati dua orang gadis kecil yang terlihat begitu akrab. Itu
aku dan sepupuku, Lili. Lili satu tahun lebih tua dari aku. Mungkin karena
hanya terpaut umur 1 tahun kami menjadi begitu dekat.
Tiba-tiba, benakku memutar masa
kecilku bersama Lili. Saat itu Lili sudah mulai bersekolah, TK Kecil. Ia
bersekolah di sekolah yang ada di dekat rumah kami (asal kau tahu, rumah kami
pun bersebelahan). Karena aku selalu nempel sama dia, saat Lili sekolah pun aku
mengikutinya. Di sekolah, Lili memiliki banyak teman yang akhirnya dia juga
mengenalkan teman-temannya padaku. Anak ini memang asyik dan pintar
berinteraksi. Namun, kadang ia bisa melupakan aku kalau sudah bermain dengan
teman-temannya.
Waktu kecil aku sering diejek oleh
teman-teman Lili karena tubuhku yang gendut. Teriakan memaki mereka pun masih berbekas
di otakku. Pernah, aku sampai menangis karena merasa tak ada yang menghargai
aku dan menerima aku yang gendut ini. Kadang terselip rasa iri kepada Lili. Dia
tidak pernah diejek seperti aku karna dia tidak segendut aku.
Aku membalik lembar pertama. Kini aku
dapati foto saat aku kelas 5 SD dan ia kelas 6 SD. Aku masih ingat kejadian
saat aku, adikku, dan Lili bermain ke rumah Yuda, tetangga sekaligus teman
dekat kami. Kami sering bermain PS disana karena Yuda memiliki usaha rental PS.
And fortunately, berhubung kami dekat dengan keluarga mereka, jadi kami bisa
main sepuasnya dengan gratis. Haha!. Saat bermain disana, banyak sekali
cowok-cowok yang bermain PS di rumah Yuda, meminta nomor HP Lili. Aku bisa
melihat Lili yang kegirangan saat mengetahui ia adalah orang yang menarik. Saat
itu pula rasa iriku makin berkembang. Aku menyadari bahwa aku kalah cantik
dengan Lili. Aku biasa-biasa saja sementara Lili memiliki aura yang dapat
menarik perhatian orang. Sungguh, aku merasa selama ini aku hanya menjadi bayang-bayang
Lili. Orang selalu menengok kearahnya tapi tidak padaku. Untunglah, aku bukan
orang yang memiliki pemikiran pendek. Aku akui aku sangat iri pada Lili
yang cantik dan menarik, tapi aku tak
pernah berpikir untuk membencinya. Maka, sejak saat itu aku bertekad untuk
menjadi lebih baik dari Lili dengan usahaku sendiri.
Kini aku telah duduk di bangku kelas
6. Hidupku mulai berubah. Aku tidak gendut lagi seperti dulu, bahkan aku
terbilang langsing. Aku juga kini jago basket dan asal kau tahu aku sudah
ditembak seorang cowok. Oke, mungkin hanya satu tapi setidaknya itu suatu
kemajuan dari keadaanku yang memprihatinkan. Selain itu aku juga sekarang jadi
lebih dilirik para cowok.
Tak hanya aku yang berubah,
hubunganku dengan Lili pun kini mulai berubah. Aku dan dia sudah tak sedekat
dulu. Dia menjadi lebih dekat dengan Yuda. Kupikir mungkin karena mereka
sama-sama sudah SMP jadi lebih nyambung. Lili masuk ke sebuah SMP yang tidak
begitu bagus. Disitu aku mulai menyadari ternyata aku masih lebih pintar dari
Lili.
Kami kembali dekat saat keluarga Yuda
pindah ke Pulau Bali karna masalah keluarga yang menurutku fatal. Dan saat
kembali mengenal Lili dalam versi SMP, ternyata tak berubah. Ia merupakan cewek
popular disekolahnya. Karena ia cantik, selain itu ia adalah mayoret pertama di
sekolahnya. Posisi yang identik dengan gadis berparas cantik ini memang sangat
diincarnya. And as usuall, she always gets
what she wants. Aku juga sering melihatnya bergonta-ganti pacar. Dan inilah
yang kunamakan kembali menjadi bayangan.
Aku membalik lagi lembar album itu.
Disana tertempel beberapa foto. Aku melihat foto kecil yang memaparkan sosokku
dan Lili saat kami memasuki dunia SMP. Dimana kami mulai mengenal cinta monyet
dan rona kehidupan SMP lainnya. Aku duduk di bangku kelas 7 sementara Lili
kelas 8. Disinilah tercipta sebuah tragedi yang akan membuat hidup
kami—Lili—berubah.
Malam itu, Lili bermain ke rumahku,
seperti biasa kami akan saling curhat. Lili membolak-balikan majalah remaja
yang ditaruhnya diatas tempat tidurku sementara aku sibuk ber-SMS dengan
gebetanku. Haha, asal kau tahu. Beranjak SMP aku benar-benar berubah. Aku sudah
ditembak belasan cowok dan aku dikenal orang disana-sini sebagai anak basket.
Tiba-tiba aku melihat air mata Lili
yang menetes. Aku terkejut melihatnya. “Kamu kenapa?”, tanyaku. Dia tetap diam,
tangisnya makin menderu. Awalnya aku berpikir dia habis putus dengan pacarnya,
tapi dugaan itu kutampik mengingat yang suka memutuskan hubungan kan biasanya
dia.
“Papi selingkuh sama Tante Tia. Aku
mergokin sendiri tadi siang”, ucapnya disela tangis. Aku membeku, sungguh aku
terkejut. Tante Tia adalah tetangga depan rumah, dan yang benar saja?
Selingkuh??.
“jangan bilang siapa-siapa, ya? Ini
yang tahu cuma aku. Mami nggak tahu”, pintanya. Aku hanya diam. Aku tak tahu
harus bersikap bagaimana sementara aku tetap tak tega melihat Lili yang
menangis pilu. Bayangkan kau menjadi aku!. Aku hanya seorang anak kelas 7 yang
masih labil dan belum bisa mengambil solusi yang benar untuk masalah sebesar
ini. Sementara melihat orang yang begitu dekat denganmu menanggung fakta ini
sendirian padahal ia juga masih terbilang labil.
Aku menghembuskan nafas mengingat
saat Lili mengatakan kalimat itu. Karena, sejak saat itu ia menjadi anak yang
rusak. Ia jarang dirumah, ia selalu pergi bermain mencari kesenangannya
sendiri. Sepertinya aku mengerti jalan pikirannya menjadi seperti itu. Karena pakdhe, karena papinya itu. Dapat
kupastikan ia berpikir ‘kalau kamu begitu, kenapa aku nggak boleh?’.
Saat kami telah menjadi siswi SMA, Ia
sering keluar malam dan pulang pagi atau berangkat pagi pulang dini hari. Ia
sering membolos. Ia pun sering berganti-ganti pacar dengan cowok yang rusak
tapi kaya. Itu tadi, kaya. Kini, ia berpacaran dengan cowok bernama Yoka. Aku
kenal dengan Yoka karena ia adalah temanku bermain basket. Dia anak seorang
pengusaha yang tengah naik daun. Usaha kuliner Jepang milik papa Yoka begitu
diminati. Namun, walaupun ia menyandang gelar sebagai anak pengusaha kaya, Yoka
tidak bertindak sebagaimana mestinya. Ia cowok nakal, tukang minum, juga perokok
dan dia sudah putus sekolah. Mungkin tingkah lakunya ini merupakan efek dari
perceraian kedua orangtuanya. Selain itu, Yoka juga sering kasar terhadap Lili.
Beberapa kali aku melihat luka cakar dan lebam yang menempel di tubuh Lili. Aku
iba melihatnya. Sudah kubilang beberapa kali pada Lili untuk meninggalkan Yoka,
tapi Lili terlanjur cinta mati padanya. Huhhh .. ya sudah, aku hanya bisa diam.
Suatu malam, Lili mengajakku pergi ke
kost-kostan Yoka untuk mengambil HPnya. Ia memintaku menemaninya karna ia takut
ia akan didamprat oleh Yoka nanti. Aku pun mengiyakan karena aku juga
mengkhawatirkan Lili. Setelah mendapat ijin dari orangtuaku—yang tentunya
dengan sedikit berbohong. Karena aku tidak mungkin bilang akan ke kost-kostan
Yoka—aku dan Lili segera menuju ke tempat tujuan. Sampai disana, aku mendapati
kost-kostan 2 lantai yang agak gelap dan lumayan sepi. Kami mulai mendekat. Aku
dapat melihat dilantai bawah ada teman-teman se-geng Yoka sedang nongkrong. Aku
tidak menggubris mereka. Lalu, aku dan Lili meniti tangga untuk menuju kamar
kost Yoka.
Aku memandangi Lili yang berjalan
pelan didepanku. Ia keliatan sedikit ragu. Tiba-tiba Lili berhenti dan mengetuk
pintu salah satu kamar yang sudah pasti kamar Yoka. Pintu terbuka, dan disana
telah tertampang sosok Yoka yang berantakan dan terlihat habis minum. Jantungku
berderap lebih kencang. May it gonna be
okay ..
“Kenapa?”, ucap Yoka parau.
“Emm .. Aku mau ambil HP aku”, jawab
Lili dengan suara yang begitu pelan. Mungkin hampir tak terdengar. Yoka diam.
Tak ada reaksi. Ia pun membalikan badan memasuki kamar. Sekembalinya, Yoka
telah membawa handphone Lili dalam genggamannya. Aku merasa sedikit lega karena
ternyata Yoka malam ini tidak melukai Lili.
“Lo mau ini?”, tanya Yoka sambil
mendekatkan HP Lili ke wajah gadis itu. Lili hanya mengangguk pelan. Perasaanku
tidak enak, pasti akan terjadi sesuatu..
Ppprraanngggg!!!.
“makan tuh HP lo!”, serunya setelah
ia menjatuhkan HP Lili ke lantai bawah denga kasar. Lili hanya bisa diam dan
menangis. Ia baru saja akan membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, tapi
tangan Yoka lebih cepat. Yoka menampar Lili dan membuat tangisnya makin jadi. Aku
tak berkutik. Serba salah!. Aku takut kalau aku bertindak sesuatu, itu malah
makin mencelakakan Lili.
Tiba-tiba, Yoka menyeret Lili
memasuki kamarnya dan membanting pintu itu keras-keras. Tinggal aku sendirian
disana. Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Aku hanya bisa diam. Aku
menunggu beberapa waktu di koridor kost-kostan tersebut dan tak ada suara apa
pun yang terdengar dari dalam kamar. Aku mulai gelisah. Ada apa ini?.
Diam-diam, aku mengintip melalui jendela kamar Yoka. Dan aku benar-benar
terkejut dengan penglihatanku!. Menjijikan!. Aku melihat mereka berciuman dengan
penuh hasrat. Dan melakukan cara pacaran yang begitu kotor. Aku bergegas
membuka pintu tersebut namun pintu itu terkunci. Aku memukul-mukul jendela dan
pintu kamar namun mereka tak menggubrisnya. Aku menghembuskan nafas. Rasanya
percuma kalau begini!. Aku bergegas menuruni tangga. Dan begitu muaknya aku,
saat melihat teman-teman se-geng Yoka juga melakukan hal kotor yang sama. Iiiuucchh~
Setelah beberapa lama aku menunggu
Lili ditempat parkiran, akhirnya ia datang juga. Aku menatapinya dengan
perasaan campur aduk. Kesal, kasihan, dan sedih.
“Aku tadi liat apa yang kamu lakuin
sama Yoka di kamar”
Lili membuang nafas. “itu udah
biasa”, jawabnya singkat.
“tapi itu namanya pelecehan!”,
seruku. Tapi Lili hanya diam kemudian menyalakan motor dan mengisyaratkanku
untuk duduk di bangku belakang.
©
Sepulangnya dari kost Yoka entah
kenapa papa dan mama jadi marah-marah sendiri karna aku pergi main bareng Lili.
Aku heran. Banget. Ucapku,”katanya nggak boleh mbeda-mbedain sodara? Kenapa aku
nggak boleh main sama Lili??”. Aneh. Lili sudah dekat denganku sejak kecil dan
garis bawahi, ya! Dia sepupu dekatku!. Namun, orang tuaku hanya diam saat aku
menanyakannya.
Selama beberapa hari aku ngambek pada
ortu karna masalah kemarin. Aku masih nggak mengerti kenapa mereka jadi begitu
berubah. Namun semua terungkap saat orangtuaku menceritakan sebuah fakta. Lili
pernah hamil dengan Yoka. Janinnya telah memasuki usia 3 bulan. Dan ternyata
pula Lili telah melakukan aborsi karnanya. Aku hanya bisa ternganga
mendengarnya. Saat itu, aku sadar. Orangtua akan selalu menjaga kita walau cara
mereka kadang aneh dan membuat kita salah mengerti. Sejak itu pula, aku mulai
menjaga jarak dengan Lili. Aku tetap mendengarkan ceritanya, hanya saja aku
mengurangi bermain dengannya.
Day after day. Month after month. Year after year. Sampailah aku di suatu malam yang
kelam. Malam itu, aku mendengar suara ribut-ribut dari luar rumahku. Ternyata
itu berasal dari rumah Lili. Papaku bergegas menuju kesana namun aku, adik dan
mama sadar diri untuk tidak ikut campur dalam urusan ini. Aku tak bisa
menangkap apa yang terjadi diluar sana. Aku hanya mendengar suara hantaman
keras, jeritan, tangis dan berbagai kata umpatan dari seseorang.
Beberapa jam kemudian, papa telah
kembali dengan ekspresi yang tidak dapat ditebak. Beliau pun mengumpulkan kami
sekeluarga dan menjelaskan semuanya.
“Lili tepaksa sekolahnya gagal. Dia
hamil 7 bulan. Ini tadi Yoka dan orangtuanya udah dateng buat ngelamar dia. Mau
nggak mau, dia harus menikah. Karna nggak mungkin lagi aborsi. Dia udah
membunuh satu anak dulu, dan nggak mungkin hal itu dilakukan lagi”.
Badanku membeku saat mendengar
penuturan papa. Inilah klimaksnya. Inilah akibat dari semuanya. Inilah balasan
atas semua perilaku yang sudah diperbuat. Dan inilah yang membuat semuanya
berbeda. It’s changed ..
©
25 Agustus 2011.
Hari ini aku berada di pesta
pernikahan Yoka dan Lili. Aku bergegas menuju pelaminan mereka untuk
bersalaman. Entah apa yang kurasakan saat aku melihat rona bahagia di wajah
Lili. Haha. Buatku, ia gila saking cinta matinya pada Yoka. Tapi, biarlah.
Asalkan ia bahagia, mungkin itu cukup. Ya, aku bisa melihatnya. Ia bahagia.
Dengan Yoka maupun dengan the little boo-boo
dalam kandungannya.
“Selamat berbahagia ya, Li”, ucapku
sambil tersenyum dan memeluknya.
Galuh Widyastuti.
keep reading ^^
No comments:
Post a Comment