Red in
Peace
“Halo,
semua!!”, suara lembut gadis itu menyeruak. Matanya menyapukan pandangan pada
seluruh penghuni panti asuhan. Senyumnya yang merekah semakin mencerahkan aura
kecantikannya. Kecantikan yang sederhana. “Kak Gea bawa cheese cake! Siapa
mau??”, ucapnya penuh kehangatan. Suara lembut itu kini berubah, terdengar
sedikit kekanakan. Gea bagai malaikat pembawa kabar baik. Entah karunia apa
yang diturunkan Tuhan untuknya, hanya saja ia seperti alat Tuhan untuk bekerja
dalam kebaikan. Dan malaikat ini datang untuk mereka.
Anak-anak
kecil yang begitu dekat dengan gadis ini langsung menyerbunya yang berdiri di
ambang pintu. Badannya agak tergoyah. Walau
sedikit kewalahan, matanya menyorot pasti tiap antusiasme anak-anak ini. “Aku
mau, kak! Aku mau!”, seru mereka berebutan. Di wajah Gea tergores sebuah senyum
saat melihat kebahagiaan anak-anak ini, malaikat-malaikat kecilnya.
“Eeitss ..
anak-anak, jangan berebut! Nanti kuenya malah jatuh lho. Kasihan juga itu Kak
Gea jadi berantakan”, Bunda Ira—sapaan bagi Kepala Panti—mulai membawel.
“Nggak apa-apa
kok, Bun”, Gea kembali tersenyum. Ia berikan cheese cake itu pada Bunda Ira.
“Terimakasih
ya Gea, kamu baik sekali”. Dinaikkannya kedua alisnya.
“Bunda lebay
ah .. Gea kan udah sering kesini buat bagi-bagi ke adik-adik”, senyumnya tulus.
Wanita tu ikut tersenyum dan berbalik menuju dapur untuk menyajikan cheese cake
ini. Gea gadis baik. Ia cantik, pintar, pemurah dan sederhana walau ia anak
konglomerat. Ia juga sangat aktif dalam kegiatan sosial. Bunda masih heran ada
orang sepertinya. Ia—tentu saja—bukan anak dari panti asuhan ini yang kemudian
diadopsi seorang konglomerat. Ia anak konglomerat asli. Tapi mengapa ia sebegitu
baik pada anak-anak ini? Itu yang Bunda tak habis pikir.
“Kak Ge, lihat!
Aku sekarang bisa bikin bintang lho!”, ucap Toto. Gadis mungil berusia 5 tahun
itu memamerkan botol kecil berisi origami bintang. Gea tersenyum lebar. Dua
hari yang lalu, ia mengajari Toto untuk membuat origami bintang karena ia tahu
Toto sangat menyukai bintang. Awalnya, anak ini kesusahan. Ia sampai jengkel
sendiri karna tidak berhasil membuatnya walau sudah mencoba beberapa kali.
Namun, dalam kurun waktu 1 jam dia berusaha, akhirnya Toto bisa membuatnya.
Bahkan ia mahir sekarang!. Gea tahu, untuk ukuran gadis berumur 5 tahun, Toto
adalah anak yang pintar dan tekun.
“Siapa dulu
dong yang ngajarin??”, Gea memainkan alisnya.
“Kak Ge memang
kereennnn!!”. Sebuah ibu jari kecil teracung dihadapannya.
“Kamu juga
kok”, ia tersenyum sembari mengelus lembut rambut Toto.
Tiba-tiba
terdengar suara pintu diketuk. Sedetik kemudian muncul sesosok pria berbaju
casual dengan menenteng dua buah tas besar. Pria itu melangkah masuk ke ruang
tamu panti dan mencopot topi abu-abu yang sedari tadi menutupi wajahnya.
Rahangnya kuat, dagunya runcing, lehernya terlihat jenjang. Parasnya yang tertata
apik mampu melukiskan kesan seorang pelindung.
“Kak Joe!!”,
anak-anak melakukan hal yang sama seperti saat Gea masuk pertama kali. Gea
memalingkan kepala kearah yang dituju malaikat-malaikat kecilnya.
“Hai
jagoan-jagoan! Apa kabar? Huh?”, tanya orang bernama Kak Joe tadi sambil
tersenyum lebar. Gigi putihnya yang berjejer rapi terpamerkan dalam senyum
lebar yang mempesona itu.
“Baik dong,
Kak!”
Loki, anak
laki-laki dengan rambut seperti jamur menaruh rasa penasaran dengan tas-tas
besar itu. “Kak Joe bawa apa?”
“oh ini … mau
tahu aja!”
“huuuuuu!!”,
anak-anak langsung menyoraki si Joe tadi.
“Haha!. Ini
Kak Joe bawa mainan sama buku buat kalian! Ini ambil aja!”, serunya sambil
menurunkan kedua tas yang sedari tadi dalam genggamannya. Gea tersenyum manis
melihat begitu antusiasnya anak-anak menerima hadiah dari si Joe ini, apalagi
saat mereka berteriak-teriak kegirangan karena mendapat mainan atau buku yang
keren. Atmosfer kebahagian mereka ikut menyelubungi hati Gea.
Ia tersentak
saat merasakan pundaknya ditepuk oleh seseorang. Ia menoleh ke kiri dan
mendapati sebuah tangan telah terulur disana. “Joe”, kata lelaki itu. Gea
menatapinya. Laki-laki ini tersenyum dengan dua lesung pipi yang membuat senyumnya
terlihat manis, rambutnya hitam legam, hidung mancungnya kokoh, kulit tanned-nya itu mewujudkan kesan maskulin. Sebuah penggambaran yang baik,
bukan? Singkatnya, laki-laki ini menarik. Tapi yang paling membuat Gea tertarik
adalah mata beningnya yang berwarna abu-abu. Wow! Dimana lagi kau bisa menemukan mata seindah ini di negara ini?, batinnya.
Gea tersenyum lalu membalas tangan Joe, “Gea”. Kini giliran Joe yang
memperhatikan Gea. Gadis ini memiliki senyum yang ekspresif, rambut panjangnya
yang lurus berwarna kecoklatan senada dengan matanya, kulitnya kuning langsat
tidak pucat putih. Coklat dan kuning langsat. Perpaduan warna yang begitu indah
dalam tubuh satu sosok. Ah .. belum lagi bibirnya yang kemerahan itu. Bak gambaran
nyata seorang malaikat pembawa kabar baik.
“Keturunan Rusia?”,
tanya Gea sambil meringis, membuat wajahnya terlihat lucu. “Maaf, kalau
terkesan nggak sopan nanyanya. Hehe”, sambungnya lagi. Joe tersenyum dan kedua
lesung pipi itu kembali hadir.
“Iya, kau tahu
darimana?”
“Mata”, tunjuk
Gea pada matanya sendiri. “Abu-abu. Keren!”. Diam-diam Joe agak geli dengan
gerak-gerik Gea yang lucu.
“Haha!
Ngomong-ngomong, untuk apa ku kesini? Aku sebelumnya tidak pernah melihatmu
disini deh ..”
“Aku sama
sepertimu, main-main saja kesini. Kadang suka bawain barang-barang buat
adik-adik gitu. Aku juga tidak pernah melihatmu. Mungkin karena kita kesini
beda jam kali ya? Aku kesini juga hanya seminggu sekali”, jelas Gea.
“Ohh .. begitu.
Mungkin sih. Hehe. Hampir tiap hari aku ke tempat ini. Habisnya di rumah juga tidak
ada kerjaan, nggak ada temen. Ya sudah, main-main aja kesini”
Mulut Gea
membentuk huruf O. “Kamu suka kegiatan social?”, tanyanya. Joe mengangkat salah
satu alis. “Ehm-hmm”, ia mengangguk pelan. “Kenapa?”. Gea menjentikan jarinya.
Matanya pun berbinar. Aura malaikat itu seketika terpancar pula dari matanya.
“Aku juga suka!
Suka banget malah! Hehe. Suddah ikut apa saja?”
“Too many to
tell you”, ucap Joe berlaga belagu.
“Uh-huh? Well,
let me know”, Gea tak mau kalah dengan memasang tampang pongah.
“Kau itu mau
minta diceritain atau mau menantangku tawuran sih? Hahaha”. Gea memeletkan
lidahnya. Kedua orang itu tertawa bersama dan berujung larut dalam sebuah
percakapan seru.
҉
Joe membawa
dua cangkir coklat panas ke teras depan rumahnya. “Nih ..”, Joe segera
memberikan cangkir di tangan kanannya pada Gea. Gea yang sedari tadi terduduk
sambil melihat hujan tersenyum dan berterimakasih. Sebulan terakhir ini mereka
semakin dekat. Atau bisa kita sebut mereka bersahabat. Walau dalam sebulan,
mereka bisa saling mengenal dengan mudah. Mungkin itu karena hobi mereka pada
kegiatan sosial dan beberapa hal lain yang mendukung mereka untuk menjadi teman
yang klop.
“Kelihatannya
ke panti bakal terlambat nih. Hujan nggak ada ampun begini ..”, gumam Joe
ditengah-tengah menyesap coklat panasnya. Panas itu menjalari tiap sudut dingin
dalam tubuhnya. Sungguh nikmat meneguknya ditengah hujan seperti ini.
Gea hanya
mengangguk pelan tanpa menatap Joe, fokus matanya masih terekat pada hujan. Joe
memperhatikan Gea, ini anak .. apa sih
spesialnya lihat hujan?. Pertanyaan Joe yang ke sekian kalinya. Gea memang
sudah menjelaskan berkali-kali bahwa suara hujan bisa membuatnya tenang. Namun
bagi Joe suara hujan sama saja. Apa yang spesial dari suara air yang turun dari
langit? Tak ada beda, bukan?.
“Ge, besok ada
bakti sosial buat hari anak. Mau ikut nggak? Aku nggak ada temen nih!”
Gea segera
mengalihkan pandangannya, membenarkan posisi duduk pada sofa empuk berwarna
pastel itu. Ia tersenyum, begitu pula dengan matanya.
“Dimana?”,
tanyanya antusias.
“Di dekat
balai kota. Nanti kita keliling-keliling ke beberapa panti asuhan gitu kelihatannya.
Tapi ini lebih ke anak-anak yang special
need gitu. Kelihatannya bakal asyik. Bagaimana? Bisa kan?”
“Absolutely yes!”, ucap Gea tertawa
renyah. Namun, tawa itu terhenti saat mata Gea menangkap ekspresi aneh di muka
Joe. Gea mengerutkan dahinya. Memang ada
apa sih?.
Tiba-tiba Joe
menunjuk tepat ke arah muka Gea. Gea makin bingung.
“Apaan?”
“Hidung kamu
..”, gumaman Joe menggantung. Dengan segera Gea meraba hidungnya. Ia rasakan
sebuah cairan mengalir. Oh-my-God ..
, gumamnya saat melihat tangannya kini berlumuran darah yang berasal dari
hidungnya tadi. Dicarinya tisu di dalam tas kecilnya untuk membersihkan aliran
darah itu. Lalu disumbatnya lubang hidung tersebut dan ia dongakan kepalanya. Heran,
tak biasanya Gea mimisan seperti ini.
“Kamu sering
mimisan?”, di suara Joe tersirat sebuah kecemasan. Gea meliriknya sebentar lalu
menggelengkan kepalanya. Dahi Joe berkerut. Namun beberapa saat kemudian dia
menghembuskan nafas keras-keras. Gea yang terheran menyadari tingkah Joe itu
meliriknya lagi. Mengisyaratkan kata “kenapa?”.
“Nggak apa.
Mungkin kamu kecapekan”, jawab Joe yang menyadari isyarat itu.
Gea mengangkat
kedua alisnya, “Well, don’t worry, dude. Aku saja santai begini, kok kamu yang
kelihatannya panik gitu?”. Joe menjawabnya dengan senyum tipis.
҉
Gea merasa
kepanasan.
Diusapnya
peluh yang bercucuran dengan handuk kecil berwarna pink soft. Setelah ini ia
dan Joe juga beserta rombongan sukarelawan akan menuju ke panti yang terakhir.
Si ketua rombongan menjelaskan bahwa panti yang kali ini kebanyakan adalah
anak-anak pengidap hidrocepalus. Gea
yang mendengar kata hidrocepalus itu langsung bergidik ngeri membayangkan
anak-anak kecil lucu yang tak berdosa memiliki penyakit yang membuat kepala
mereka membesar.
Joe telah
kembali memasuki bus rombongan dan duduk disebelah Gea.
“Sudah lega?”,
tanya Gea sambil menahan tawa.
“Sudah!. Emang
susah kalau sudah nggak ‘setor’ tiga hari”, ucap Joe santai.
“Dasar jorok!”
“Aduh!!”,
erang Joe sambil mengusap-usap kepalanya yang ditonyor Gea sementara Gea terus
tertawa jahat bercampur jijik membayangkan apa yang dikatakan Joe.
“Ge .. pinjem
anduk kamu”, tanpa basa-basi Joe langsung menyerobot handuk Gea sebelum gadis
itu sempat berkata apa-apa. Gea terkesiap saat dirasakannya tangan Joe mengusap
dengan cepat hidungnya. Ia baru mengerti apa yang dilakukan lelaki ini setelah
tangan itu kini menunjukan handuk berlumur darah tepat didepan matanya. “Kamu
mimisan lagi”. Gleeekkk!!
Joe mencoba
membaca ekspresi Gea. Ia terlihat begitu kaget. “Kamu memang sering gini ya?”,
tanyanya serius. Gea menggeleng. “Ge .. beneran”, desaknya lagi. Gea terdiam
sejenak. Ia lalu menggeleng lagi.
“Ge, ini aku
tanya bene …”
“Nggak, Joe. Aku
juga nggak mengerti!. Ini ketiga kalinya aku mimisan”
“Kamu harus
periksa”
“Nggak, ah!. Aku
tak sapa. As you said before, maybe I’m tired”
“Tapi aku yakin
ini berbeda!”
“I’m-okay!.
Can you hear that?? Lagi pula cuma mimisan kok!”. Dalam ucapan Gea tersirat
suatu kecemasan walau ia tetap berkeras mengatakan ini baik saja. Joe dapat
melihatnya, Gea menolak untuk takut sesuatu terjadi padanya.
Joe meniup rambutnya
tanda frustasi. “Terserah”. Satu kata pendek, lalu ia membungkam.
҉
Joe
membilas tangannya yang tertutup busa sabun. Ia matikan keran air. Selesai
sudah tugasnya membantu mencuci piring siang itu. Diambilnya lap untuk
mengeringkan tangan.
“Anak laki-laki
bunda yang kurang kerjaan”, ucap Bunda dengan nada dibuat-buat kesal namun
senyum lebar tersungging di wajahnya paruh bayanya.
“Aku tahu
Bunda hanya terlalu sungkan dan merasa aku kerepotan kan?. Haha. Jadi
berhentilah berlaku galak seperti itu, Mam”
“Hahaha.
Terserah kau saja. Ini minum. Tanda terimakasih untuk laki-laki yang kelewat
baik sepertimu”, beliau menyodorkan segelas jus yang begitu menggoda di siang
hari seperti ini. Joe menerima gelas itu dan mengangkatnya sesaat sambil
mengucap terimakasih. Diteguknya dengan cepat, seperti kesetanan. Namun
sungguh, panas hari itu membuatnya begitu haus.
“Ngomong-ngomong,
Joe. Bagaimana perkembangannya?”. Joe melirik Bunda. Diselesaikannya seteguk
terakhir kemudian berkata, “Perkembangan keadaanku maksud Bunda?”
“Apa
lagi?”, Bunda mengendikan bahu.
“Menurut
Bunda bagaimana? Aku terlihat normal bukan?”
“Tentu
saja. Dan kau tahu orang lain juga memandangmu dengan sama”
“Kalau
begitu itu sudah cukup menjawabnya bukan?”. Dilipatnya kedua tangan didepan
dada. Joe melihat respon bunda itu menghela nafas.
“Aku hanya
berharap bisa memperpanjang ini. Dokter sudah bilang ini tidak akan lama, namun
aku akan menunjukan bahwa aku cukup kuat”
“Tapi,
Joe. Cepat atau lambat, hal ini akan terlihat oleh orang lain. Kau juga tak
mungkin selamanya bersembunyi dibalik ‘benda itu’”. Mulut Joe terdiam mendengar
pernyataan bunda. Cepat atau lambat.
“Aku
mengerti”
҉
Diketuknya
pintu rumah sederhana itu. Beberapa saat kemudian muncul wanita paruh baya
membukakan pintu untuknya. Wanita itu terlihat agak berantakan, seperti habis
melakukan suatu pekerjaan yang cukup berat.
“Eh, si Mbak!.
Mau ketemu Mas Joe?”, seru pembantu Joe dengan logat Jawanya yang khas.
“Iya, Bi. Joe
di rumah kan?”
“Iya, itu lagi
di ruang lukisnya. Mari, saya antar”. Ia sedikit heran. Joe suka melukis?. Namun segera diikutinya wanita itu menuju ke
sebuah ruangan berukuran sedang dengan berbagai karya lukisan tertempel di
tembok. Kebanyakan lukisan tersebut menceritakan tentang sosial dan anak-anak.
“Wah .. mas Joe-nya
ndak ada. Mungkin lagi ke toilet. Mbak
tunggu disini dulu aja, Bibi mau ke dapur dulu ya melanjutkan masak. Selak kawanen. Mbak mau minum apa?
Sekalian Bibi bikinin”
“Nggak usah
Bi, nggak haus. Terimakasih”, ucapnya disertai dengan Bibi yang segera melesat
ke dapur.
Matanya
menyapu seluruh lukisan di ruangan itu. Didekatinya satu persatu.
Lukisan-lukisan ini begitu indah!. Seakan di tiap-tiap goresannya memiliki
makna tersendiri. Tapi, ada sebuah lukisan yang begitu menariknya. Lukisan itu
berukuran sedang—emm mungkin lebih menuju kecil, hanya terdiri dari warna merah
dan putih. Ia menyukai lukisan ini karna warna merahnya yang begitu kontras. Terlihat
jelas disana tergambar seorang malaikat cantik yang menggenggam setangkai mawar
merah. Ia memiliki sayap yang terbuat dari mahkota bunga mawar merah. Tulisan
kecil Red in Peace (R.I.P) terpampang
dipojok kanan bawah. “Judul yang aneh”, gumamnya. “maksa lagi. Haha”, ia
terkekeh sendiri.
Kembali
diamatinya lukisan itu. Tiba-tiba ia menemukan bercak air berwarna merah yang
mulai kering yang ia yakini bukanlah cat. Disentuhnya cairan itu. Texturenya lebih cair dari cat. Ada yang
janggal. Ia pun mencoba mambaunya. Baunya seperti ..
“Ge? Sorry ya menunggu lama!”. Gea terkesiap
saat suara Joe menerpa telinganya.
“Kau ini,
mengagetkan saja!”, eram Gea. Namun ia seketika terkikik geli saat melihat
hidung Joe yang merah seperti Rudolf. “hahahha hidungmu kenapa bisa merah seperti
itu?”
Berkebalikan
dengan ekspresi Gea, Joe malah gelagapan sendiri mendengar pertanyaan itu.
“E-ehh .. ini a-aku hanya sedang flu. Jadi ya gini deh kebanyakan ingus”
“Kamu flu? Kok
nggak bilang? Yahh .. berarti ntar nggak bisa nemenin ya?”
“Nemenin
kemana?”
“Nanti sore aku
mau periksa soalnya ngeri juga aku jadi sering mimisan begini. Tapi kalau kamu sakit
begini ya sudah ntar aku bareng mama saja kalau beliau sempat”
Mulut Joe
membentuk bulatan kecil. “Sorry, nggak
bisa nemenin buat kali ini”, ucapnya meringis.
“It’s okay.
Get well soon, boy. Eh, by the way .. kamu ternyata jago melukis toh? Keren
lho! Aku paling suka yang Red in peace tadi itu tuh .. tapi hahaha sumpah ni
ye, judulnya agak maksa”, ucap Gea sambil menjulurkan lidahnya. Ditonyornya
kepala gadis itu sambil ikut tertawa.
“Kok judulnya
gitu sih?”
“Jangan salah
itu ada artinya tahu!”
“Apa iya?”
“Tengil banget?!
Hahaha iya dong. Red in Peace or RIP.
Merah dalam kedamaian. ‘Merah’nya itu ambigu. Bisa diartikan kedalam beberapa
konteks. Kalau buat lukisan itu sih sejenis penyebab yang bikin dia masuk dalam
kedamaian abadi”, tutur Joe bak seorang filsuf.
“Ahhh??”, Gea
memasang tampang dongo. Joe mengangkat bahunya. “yah .. biasa lah. Susah
ngomong sama anak kecil”. Gea mendelikan matanya pada Joe—mencoba garang.
҉
Joe
kalap!.
Sudah sekitar
dua minggu ini Gea menghilang. Sejak Gea mampir ke rumah Joe 2 minggu lalu ia
tidak pernah lagi melihat gadis itu. Ia sudah berkali-kali menghubungi HP Gea
dan berkunjung ke rumah anak itu. Tapi HP Gea tidak pernah aktif dan orang
rumah selalu berkata bahwa Gea sedang
tidak ada di rumah. Gea bahkan juga tidak memberitahu hasil pemeriksaannya.
Aneh. Pasti ada yang salah!.
Tiba-tiba Joe
teringat pada panti dimana mereka bertemu. Iya, panti!. Ia pasti di panti!. Bodoh,
kenapa ia tidak berpikir sampai kesana??. Diambilnya jaket dan bergegas menuju
ke panti asuhan tersebut. Sesampainya di panti ia disambut sendirian oleh bunda
karena saat itu sedang jam tidur siang
bagi anak-anak.
“Bun, Gea
disini?”, tanya Joe tergesa-gesa.
“Kamu kenapa
kok buru-buru gitu?”
“Ada apa tidak,
Bun?”, suara Joe mulai meninggi sedikit.
“Iya ada. Dia sudah
hampir seminggu menginap di sini”
“Sekarang
dimana dia?”
“Itu di taman
belakang. Memang ke..”. Joe berlalu meninggalkan Bunda sebelum wanita itu
menyelesaikan pertanyaannya.
Joe mendapati
Gea yang duduk di tepi kolam ikan besar sambil memberi makan ikan-ikan koi di
dalamnya. Mata gadis itu sayu. Ia heran melihat perubahan sahabatnya ini. Apa
yang telah terjadi?. Didekatinya Gea secara perlahan. Gea tersentak pelan saat
Joe memegang pundaknya.
“Where have you been? Kenapa kamu menghilang?”,
tanya Joe saat gadis itu menoleh padanya. Gea hanya diam. Tatapannya hampa. Joe
mencoba menyelami mata coklat itu. Tak ditemukannya sahabatnya itu. Jiwa Gea
seperti tak ada dalam tubuh ini. Aura malaikat pembawa kabar baik itu pun
seperta hilang, lenyap. Termakan oleh pijar gelap pencabut kebahagiaan.
Joe menyusuri
tiap sudut sosok ini. Mencari tahu dimana kesalahan itu. Mencari dan mencari
untuk mendapatkan malaikat pembawa kabar baik ini kembali. “Gea!”, desaknya yang
mulai menggila. Ini aneh!. Ada apa dengan Gea?.
Beberapa detik
kemudian kehampaan itu hancur oleh air mata. Gea menangis. Ini pertama kalinya
Joe melihat gadis tegar ini menangis. Air itu terus mengalir. Kini bukan lagi
hujan yang termata-matai, namun matanya yang terhujani. Kesedihan, kehampaan,
kesepian, ketidak adilan besinergi dalamnya. Membuat tubuhnya tergoncang
seiring derai air mata.
“Kamu
kenapa?”, tanya Joe lembut. Ia tidak menjawab. Ia malah mengeluarkan selembar
kertas dari kantung bajunya dan mengacungkannya pada Joe.
“A-aku sakit
..”, ia mencoba bicara ditengah tangisnya. “Dokter b-bilang a-aku .. le ..
le-leukimia”. Joe tak bereaksi. Ia sudah mempersiapkan hatinya untuk mendengar
kabar buruk ini jauh-jauh hari. Ini sesuai dengan dugaannya.
“Lalu? Caramu dengan
menghilang seperti ini?”
“Dunia nggak
adil Joe! Leukimia nggak bisa disembuhin! Gue sudah hampir masuk ke stadium
akhir dan ini sudah sangat parah! Hidupku tinggal sebentar setelah itu aku
mati!. Do you realize? I’ll die! Aku
tahu nantinya kita akan meninggal. Tapi haruskah aku menemui ajal semuda ini?
Ini nggak adil!. Aku berhak mendapat hidup yang lebih panjang!”
“Tapi bukan begini
caranya kamu menghadepi itu!”, balas Joe tegas. Rahangnya mengeras, menahan
segala emosi.
“Bullshit! Tuhan nggak sayang aku lagi,
Dia nggak adil!”
“Kamu nggak
pantas ngomong seperti itu! Cara pikirmu salah!”, diacungkannya telunjuk itu
tepat di depan muka Gea.
Gea meremas
rambutnya. “Kamu bisa ngomong gitu karna kamu tidak mengalami seperti apa aku
sekarang!”. Gea bertekuk lutut. Tubuhnya lemas. Ditangkupkan kedua tangannya di
wajah. Menangisi keadaan yang dirasanya tidak adil.
Joe
menyunggingkan senyum miring. Manusia memang
tidak pernah bersyukur ..
“Asal kau tahu,
Ge. Aku mengerti apa yang kamu rasakan ..”
“Nggak usah
sok ngertiin! Kamu nggak punya alibi soal ini”
“Memang nggak
punya, karna ini fakta. Ge, lihat aku!”. Gea mengangkat kepalanya. Sementara
Joe menggenggam erat rambutnya. “Bahwa aku juga pengidap leukimia”, ditariknya
rambut palsu yang selama ini menutupi identitas penyakitnya. Gea ternganga
melihat pemandangan didepannya. Joe yang berbeda. Joe yang tak memiliki rambut.
Joe yang ternyata mengidap penyakit yang sama dengannya. Ini Joe yang kuat,
bukan? Tak mungkin!. Namun Gea melihat kulit kepala Joe yang pucat dan rambut
dalam genggaman tangan laki-laki itu. Dan itu cukup membungkamnya. “Aku sudah
bersama-sama dengan penyakit ini selama setahun. Dokter mengvonis hidupku hanya
5 bulan lagi, tapi buktinya aku masih bisa berdiri disini sekarang”
“Tapi kamu terlihat
normal-normal saja”
“Itu karna aku
nggak mau orang-orang mengenalku sebagai orang lemah yang menyerah begitu saja
sama penyakit. Aku merasa hidupku normal walau dengan leukemia ini. Dan itu pun
akhirnya yang dilihat orang lain. Mereka nilai aku normal-normal saja”
Tiba-tiba Gea
teringat pada lukisan RIP-nya Joe. “Red in Peace.. merah itu bukan cat kan?”
Joe tersenyum.
“Iya. Itu daraku. Waktu aku mau melukis tiba-tiba mimisan lagi. Aku mau bikin
darah ini berharga. Makanya aku jadiin sebagai pengganti cat. Waktu habis meluki
darahku ternyata tetep nggak berhenti. Akhirnya setelah aku gantungin itu
lukisan, cepat-cepat aku ke kamar mandi untuk membersihkan darahku. Waktu aku
balik, kamu lihat sendiri hidungku merah. Hari itu aku nggak flu, aku bohong.
Dan maksudnya Red in Peace itu darah yang akan bawa aku ke kedamaian abadi.
Entah kapan yang pasti aku akan mati karna darah”.
Suasana
hening. Kesunyian yang mencekam. Gea menghembuskan nafasnya lembut. “Sorry, mungkin karna gue masih shock. Nggak seharusnya aku kayak gitu. aku
nggak mikir ada orang yang lebih parah dari aku. Dan ternyata itu kamu
sahabatku sendiri”
“Nggak apa”,
ucap Joe mengusap lembut rambut Gea. “Manusia memang suka lupa diri. Tidak
pernah bersyukur dengan apa yang dia punya”.
҉
Gea membawa
kue tart kecil untuk ulang tahun Joe hari ini. Ia susuri lorong rumah sakit dan
segera menuju kamar rawat Joe. Keadaan Joe semakin parah. Sudah hampir seminggu
ia kritis. Ternyata tubuhnya hanya kuat menahan penyakit satu setengah tahun
saja. Dibukanya pintu kamar tersebut. Terlihat Joe yang dipasangi oleh
alat-alat ‘penopang hidupnya’. Gea menarik kursi disisi kanan tempat tidur Joe.
Segera dibukanya kue tart Joe. “Hi, Boy!
Can you see? I bring a lil’ birthday cake for you. Tadaaa!!”. Tak ada
reaksi. Ia melihat monitor jantung disebelah kanannya. Dittt .. dittt .. dittt .. jantungnya lemah. Gea tetap tersenyum.
Jujur saja, ia sudah mengikhlaskan bila Joe harus pergi. Secepat apa pun itu.
Bukan karna pasrah, tapi ia tahu bahwa sebentar lagi ia akan menyusul Joe.
Mereka akan dipertemukan di alam yang lain. Ia mengidap penyakit yang sama,
maka ia akan mati dengan cara yang sama.
Kembali
ditatapnya Joe yang tetap diam. Ia membuka mulutnya, menyanyikan sebuah lagu. “Happy birthday to you. Happy birthday to
you. Happy birthday .. happy birthday ..”. Nafas Gea tertahan sesaat ketika
melihat Joe membuka matanya sedikit dan tersenyum tipis. Gea mulai
berkaca-kaca. Namun ia tersenyum. Ia tak mau Joe melihatnya dalam keadaan
lemah. “Happy birthday brother!”, bersamaan dengan bibir Gea yang selesai
bernyanyi, mata itu tertutup, dan senyum itu telah lenyap.
Dddddddiiiiiiiiiiittttttttttttttt …..
Gietatonine.blogspot.com
koplo :D
ReplyDelete