Friday, September 29, 2017

Solving Deforestation Using Fundraising Platform

Setiap kali berbicara mengenai perubahan iklim biasanya kita selalu membahas tentang efek-efeknya, faktor penyebab, dan hak-hak umum lainnya. Tetapi, seringkali kita tidak menyadari ada sebuah faktor teknis yang sangat dibutuhkan di dalam penanggulangan perubahan iklim. Padahal faktor tersebut sangat esensial, yaitu pembiayaan publik. Dalam hal ini, pembiayaan publik yang dimaksud adalah pembiayaan public yang secara khusus untuk menanggulangi perubahaan iklim atau lebih sering disebut dengan climate finance.
Climate Finance secara sederhana dapat diartikan sebagai biaya yang dibutuhkan dalam setiap upaya penanggulangan dan pengurangan dampak negatif terkait iklim. Secara garis besar, pendanaan tersebut terbagi menjadi 3 tipe, yaitu: mitigation finance, adaptation finance, dan REDD+. Mitigation finance merupakan pendanaan khusus proyek-proyek yang bersifat mengurangi atau membatasi perubahan iklim itu sendiri. Adaptation finance berfungsi untuk mendanai proyek yang bersifat adaptif terhadap dampak dari perubahan lingkungan (penanggulangan). Sedangkan REDD+ merupakan bentuk investasi dana pada proyek perlindungan dan restorasi hutan.
Bagi sebagian besar orang istilah climate finance tersebut bahkan sepertinya masih sangat asing di telinga. Padahal climate finance ini merupakan salah satu fokus dari Persetujuan Paris atau Paris Agreement dimana pada tahun 2020 ditargetkan negara-negara maju dapat memberikan sejumlah dana kepada negara berkembang dalam rangka pelestarian hutan dan konservasi demi menyelamatkan bumi. Pihak PBB sendiri sekarang tengah berusaha keras dalam memobilisasi target pembiayaan sebesar US$100 juta tersebut supaya benar tercapai di tahun 2020. Di sisi lain, perlu diketahui bahwa biaya ini tidak datang dari pemerintah saja, namun boleh berasal dari sektor manapun, baik swasta ataupun negeri.
Lalu, mengapa kita sebagai masyarakat Indonesia harus peduli dan bergerak mengenai target tersebut?
Fakta menariknya adalah Indonesia merupakan 10 besar kontributor emisi gas rumah kaca terbesar di dunia! Setiap harinya Indonesia menyumbangkan sekitar 1981 metrik ton CO­­2  ke atmosfer bumi. Jadi, dapat kita katakan bahwa kita adalah negara yang seharusnya paling bertanggung jawab atas kerusakan tersebut. Menariknya lagi, sumbangan emisi gas yang sangat masif itu ternyata disebabkan oleh maraknya deforestasi di Indonesia. Sebab itu, perlu diadakannya restorasi hutan dalam skala besar untuk kembali menyeimbangkan lingkungan hidup kita ini.
Berada dalam era generasi milenial, pendekatan yang paling mudah diambil adalah melalui teknologi dan sosial media. Melalui tren fundraising platform yang sudah sangat familiar di kalangan anak muda, kita dapat melakukan dukungan sekaligus pergerakan yang efektif untuk memenuhi target climate finance pada tahun 2020. Fundraising platform sendiri merupakan sebuah situs yang menjadi wadah dalam melakukan penggalangan dana untuk sebuah tujuan tertentu. Fundraising Platform ini sudah sering digunakan dan terbukti begitu efektif untuk mengumpulkan berbagai donasi serta menggerakan orang-orang untuk peduli terhadap suatu aksi tertentu.
Dalam konteks ini, aksi yang akan diusung tentunya mengeni perubahan iklim itu sendiri. Mengacu pada fakta yang terjadi, maka secara spesifik aksi ini merujuk kepada usaha restorasi hutan di Indonesia. Aksi penggalangan dana melalui platform online ini dapat kita sebut dengan donasi Gerakan Seribu Pohon. Dimana hanya dengan mendonasikan Rp. 1000 (US$ 0,1) saja kita telah membantu membiayai penanam 2 pohon untuk hutan Indonesia. Tapi, gerakan ini tidak hanya berhenti pada pendonasian saja. Gerakan Seribu Pohon ini juga mengajak masyarakat (terutama anak muda) untuk mengkampanyekan aksi yang ada melalui media sosial mereka. Sehingga bersama-sama kita dapat mencapai target climate finance itu pada tahun 2020 nanti.
Untuk menjadi seorang pahlawan kita tidak perlu memiliki kekuatan super terlebih dahulu. Untuk menjadi seperti seorang malaikat kita pun tak perlu memiliki sepasang sayap. Tetapi untuk menjadi seorang pengubah keadaan kita hanya perlu mengambil sebuah aksi. Sekarang giliranmu, untuk mengambil aksi hijau ini dan menyelamatkan bumi pertiwi.   


Climate Change: The Hidden Murderer?

Banyak orang menyakini bahwa isu perubahan iklim hanyalah sebuah lelucon fiksi yang dimainkan oleh para ilmuwan atau para aktifis lingkungan. Namun, apakah benar demikian? Bahwa setiap perubahan siklus yang ada memang terjadi secara natural tanpa sedikit pun efek campur tangan manusia di dalamnya? Dan apakah perubahan iklim hanyalah tentang lingkungan dan hanya lingkungan saja? Jika anda baru saja mengiyakan semua pertanyaan tersebut,  maka anda tengah membaca tulisan yang tepat.
Bila anda berpikir bahwa perubahan iklim merupakan sesuatu yang memang akan terjadi secara natural, mungkin anda cukup benar. Sebab, segala sesuatu yang ada di bumi ini akan terus mengalami perubahan, begitupun dengan iklim. Hanya, perubahan pola iklim yang menjadi lebih panjang atau lebih pendek itulah yang tentu saja tidak terjadi secara natural yang mana dipengaruhi oleh begitu banyak faktor, seperti: penyia-nyian sumber daya alam, pembalakan liar, dan sisa-sisa kegiatan manusia. Hal itulah yang kemudian menjadi sebuah masalah besar dan memberikan berbagai dampak negative dalam kehidupan manusia.
Terdapat begitu banyak aspek kehidupan manusia yang terpapar oleh dampak perubahan iklim. Satu yang paling terkena diantaranya adalah kesehatan. Indonesia, sebagai negara dengan letak geografis yang cukup strategis dalam hal ini, menjadi sasaran empuk bagi penyakit-penyakit yang dipengaruhi oleh iklim seperti Demam Berdarah Dengue (DBD).
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) bukan merupakan barang baru di Indonesia, malahan penyakit ini cenderung meningkat tiap tahunnya. Bahkan hingga tahun 2016 lalu, DBD masih menyandang gelar sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) yang tersebar di 11 provinsi atau sebanyak 32% dari Indonesia. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan RI, tercatat terdapat 8.487 orang menderita DBD dan 108 orang meninggal karenanya, dimana kebanyakan berusia sekitar 5-14 tahun (43,44%) serta 15-44 tahun (33,25%). Bisa anda bayangkan, itu berarti setiap jamnya terdapat 1 orang yang menderita DBD di Indonesia! Tak heran, Indonesia berhasil menduduki peringkat kedua negara endemis DBD kedua di antara 30 negara wilayah endemis lainnya.
Kejadian tersebut disinyalir karena beberapa faktor, seperti: perluasan endemik akibat modifikasi lingkungan (urbanisasi) dan lingkungan yang tidak kondusif, namun sangat ideal sebagai tempat perindukan nyamuk Aedes. Ketidak-kondusifan lingkungan ini sendiri dipicu oleh adanya curah hujan yang tinggi secara tiba-tiba dan tidak sesuai dengan pola natural yang seharusnya. Bagaimana bisa terjadi demikian?
Perubahan iklim adalah sosok di balik panggung perubahan ini. Perubahan iklim menyebabkan musim hujan menjadi pendek dan musim kemarau menjadi sangat panjang. Terjadinya kemarau panjang ini membuat lingkungan menjadi sangat kering. Sementara itu, musim hujan jadi memiliki intensitas yang sangat tinggi. Terpaparnya tanah yang kering oleh intensitas hujan yang tinggi itu kemudian menyebabkan kerusakan pada fisik tanah sehingga menimbulkan banyak kubangan-kubangan air atau tempat-tempat yang cocok bagi agen penyakit. Efeknya, terjadilah ledakan hama serta puncak penyakit DBD. Ditambah lagi dengan potensi kemarau panjang yang dapat menyebabkan banjir dan bencana alam lainnya.
Akan tetapi, benarkah perubahan iklim adalah otak dari semua ini? 100% bukan. Perubahan iklim hanyalah sebuah reaksi yang diberikan oleh alam dengan apa yang telah manusia lakukan terhadapnya. Sisa industri, debu, dan sisa-sisa kegiatan manusia lainnya menghasilkan emisi yang merupakan inti kondensasi. Hal inilah yang sesungguhnya mempercepat pembentukan awan dan menyebabkan curah hujan kian meningkat. Jadi, jelas betul bahwa manusia adalah dalang dari semua drama perubahan ini.

Lalu, akankah kamu terus berdiam diri dan merasa “cukup tahu” dengan semua hal tersebut? Tidakkah tanganmu juga ikut mengendalikan semua cerita sarat fakta ini? Bukankah kau jugalah sang dalang perubahan? Maka, marilah satukan tangan-tangan kuasa ini. Tidak lagi memilih sebuah perubahan mundur namun perubahan maju. Tidak perlu lagi melakukan hal-hal sia-sia yang merugi lalu menyalahkan alam. Sebab, alam tidak bersalah. Namun, kitalah yang perlu berubah, wahai sang pembunuh tersembunyi.