Sunday, April 24, 2011

cerpen : 1 .. 2.. 3 .. 4 .. NO! (part 7)

Dira memasuki ruangan tempat Chika dirawat setelah menyapa bunda yang sedang berada di luar ruangan untuk menelepon seseorang. Dira menatap Chika yang terduduk di ranjang putih tersebut. Perban-perban yang beberapa waktu lalu menempel di tubuh Chika kini sudah ada yang dilepas. Kesehatan Chika memang mulai pulih—walaupun sedikit, mengingat dia sempat kritis selama beberapa hari. Tapi tetap saja, kondisi Chika masih ‘mengenaskan’. Semenjak Chika menanyakan tentang kenyataan bahwa Oom Shandy adalah orang yang menabraknya pada Dira, Chika hanya melamun sepanjang hari. Paling mentok dia masih mau menjawab “ya”, “nggak” atau hanya mengangguk dan menggelengkan kepala saja.
Dira menghembuskan nafas sambil menaruh setangkai mawar putih di meja kecil dekat ranjang Chika. Ia berjalan mendekati Chika. “Gimana, Chik udah baikan?”, tanyanya. Tak ada jawaban. Chika tetap seperti patung. Melihat itu Dira merasa makin bersalah. Ia merasa begitu B-O-D-O-H. Nggak seharusnya gue bilang yang sebenernya, begitu pikirnya.

“Hei, Bun!”, sapa Dira pada Bunda saat mereka bertemu di depan ruangan Chika.
“Hei, Dir. Eh, Bunda titip Chika dulu ya, Dir. Bunda mau beli cemilan sama nebus obat buat dia bentar. Oke?”
“Sip, bun!”, ucap Dira. Wanita modis itu segera berlalu.
Dira memutar kenop pintu ruangan dan segera menapaki ruang itu. “Chika”, sapanya. Chika yang mendengar suara Dira langsung mengubah posisinya ke formasi “pura-pura tidur”. Dira hanya geleng-geleng kepala melihat ulah Chika. “Udah ketauan, bego. Haha.”, gumamnya pelan. Ia pun mendekat ke sebelah ranjang Chika. Dia menatap gadis yang begitu disayanginya ini. Ia melangkah mendekati Chika dan membisikan sesuatu.

Chika menatap ke luar jendela ruang tempat ia dirawat. Hatinya terasa hampa. Jantungnya selalu terasa sakit saat mengingat kejadian itu. Dan sialnya, memori itu selalu pencicilan di otaknya. Ia merasa separuh jiwanya hilang entah kemana seiring dengan kenyataan itu ia dengar. Dan ia pikir ia tinggal menunggu dirinya hanya tinggal ‘cangkang’, karena lengkap deh penderitaannya. Ia buta, dan si pelaku adalah keluarga dari orang yang menghidupkan semangatnya lagi. Benar-benar tragis. Rasanya sebelum ia bertemu Shandy ia tidak mungkin bisa seceria itu lagi. Tapi saat harapan itu datang, ia hilang. Harapan itu bukan untuknya. Itu. Bukan. Milik. Chika.
Tiba-tiba suara guntur mulai beradu, sedetik kemudian suara keroyokan tetes-tetes air terdengar. Hujan, batin Chika. Ia tersenyum pahit. Hatinya makin sakit saat mendengar sebuah kalimat yang dulu sempat diucapkan seseorang untuknya.
Hujan itu indah, seperti kamu ..
Chika merasakan sesuatu yang hangat mengalir dipipinya. Ia menangis lagi dan lagi. Ia menangisi orang yang sama. Shandy. Benak Chika terus menerus menyerukan nama itu. Chika ingin menghentikan semua ini. Ia bingung, ia tak tahu apa yang sebenarnya ia rasakan. Ia tak bisa memisahkan kebencian dan cintanya pada Shandy. Ini bodoh!.
Tiba-tiba ia merasakan seseorang mengusap air mata di pipinya.

Shandy memasuki ruangan Chika. Ia harus menghadapi semua, temasuk kenyataan itu. Ia membuka pintu ruangan berwarna biru laut itu dengan perlahan. Jantungnya berdegub kencang. Di dalam sana, ia mendapati Chika yang sedang terduduk sambil menatap kosong ke arah luar. Ia memandangi gadis yang amat ia rindukan itu. Chika sangat berantakan. Ia tahu Chika sangat terpukul dan itu semua berasal dari dirinya. Shandy hanya membuang nafas perlahan untuk menahan segala rasa sakit yang ia rasakan. Ia harus kuat, karena ia tahu Chika menanggung kesakitan yang lebih dari yang ia rasa.
Shandy berjalan mendekati Chika. Ia menatap gadis itu. Hatinya makin pedih saat mengetahui Chika menangis. Ia segera mengusap air mata Chika dengan tangannya. Chika mendongakan kepalanya. Shandy menatap mata hitam yang indah itu. Ia serasa tenggelam di dalamnya.
“Hujan itu indah, seperti kamu ..”, gumam Shandy tanpa sadar.
“S-S-Shandy?”, ucap Chika lirih. Shandy langsung gelgapan mendengar namanya dipanggil. Ia menggigit bibirnya, tak yakin harus menjawab iya.
“iya, ini Shandy”, ucapnya kemudian. Shandy melihat ekspresi Chika langsung berubah. Entahlah. Bingung, benci, ragu, atau .. takut?. Chika hanya diam.
“Chika .. . Aku minta maaf soal oom aku. Aku juga nggak tahu apa-apa soal ini”. Tak ada tanggapan. Hening. Shandy menelan ludahnya. Ya, Tuhan orang yang ia sayangi kini malah membencinya. Hidup macam apa ini?.
“Aku wajar kalo kamu benci aku. Shandy ngerti, Chik rasanya gimana”, ucapnya pelan. Ia menatap mata gadis dihadapannya itu. tatapan terluka dan nelangsa. “Kamu boleh benci Shandy, tapi jangan Dira, Chik. Dia nggak bersalah. Kamu tahu? Selama ini dia rela ngelakuin apa pun buat kamu sekalipun dia kamu buang mentah-mentah. Tapi dia nggak pernah nyerah, karena dia sayang banget sama kamu”. Shandy menghentikan ucapannya. Chika tetap mematung disana. Shandy mengusap kepala Chika perlahan, “jadi Shandy minta kamu jangan benci Dira ya? Paling nggak anggap ini demi Shandy mau kan?”. Chika masih membisu. Dan itu membuat hati Shandy makin tersayat. Shandy menghembuskan nafasnya pelan. “Shandy pulang, Chik. Setelah ini kamu boleh lupain Shandy…”. Shandy memejamkan mata dan menggigit bibirnya. Kata yang terakhir ini akan berat untuk diucapkan. “lupain Shandy .. Selamanya”, ucapnya kemudian. Mungkin akhir kalimat ini juga akan mengakhiri semua ini. Biarkan Chika melupakan dirinya, itu akan memperbaiki keadaan. Pasti. Lagipula ia yakin Chika bisa melupakannya dengan mudah. Toh, selama ini Chika tidak tahu bagaimana bentuk rupanya, jadi walaupun nantinya bisa melihat, Chika pasti tidak akan mengenali Shandy. Begitu pikirnya.
Shandy masih memandangi Chika yang tetap mematung itu. Shandy segera mendekap erat Chika. Ia sangat merindukan gadis itu, dan saat kerinduannya mulai terobati, di waktu yang sama ia harus meninggalkan gadis itu. Selamanya. “Shandy sayang kamu, Chika”, bisiknya pelan. Sedetik kemudian ia merasakan bahunya basah. Chika menangis (lagi). Dan itu karnanya (lagi)

No comments:

Post a Comment