Sunday, April 24, 2011

cerpen : 1 .. 2.. 3 .. 4 .. NO! (part 8)

Sebuah mobil Alpard warna silver terparkir di depan rumah Dira. Sedetik kemudian terdengar suara ribut-ribut di lantai bawah. Dira yang berada dikamarnya yaitu di lantai dua hanya bisa pasrah. Seperti biasa papa-mamanya tiap hari cuma ribut aja kalo di rumah. Bener-bener kayak kucing sama anjing yang jadi pasangan suami istri. Parahnya lagi kalau papa udah main tangan, kayak sekitar sebulan lalu waktu Dira nemuin mama sendirian di rumah dan kepala mama berdarah gara-gara dilempar vas. Parah deh. Dira bener-bener nggak ngerti. Kenapa isi hidupnya itu cuma nyakitin doang?. Mending-mending satu-satu datengnya, lhah .. ini?. Keroyokan euy!. Lama-lama dia frustasi juga kalo gini caranya.

Kata-kata Shandy tadi siang masih terngiang dipikiran Chika.
Setelah ini kamu boleh lupain Shandy selamanya ..
Lupain Shandy selamanya??. Ya, Tuhan itu mustahil .. . Tiba-tiba kata-kata Shandy yang lain mendesak memasuki benaknya.
Kamu boleh benci Shandy, tapi jangan Dira, Chik. Dia nggak bersalah. Kamu tahu? Selama ini dia rela ngelakuin apa pun buat kamu sekalipun dia kamu buang mentah-mentah. Tapi dia nggak pernah nyerah, karena dia sayang banget sama kamu…
Chika merenungkan perkataan Shandy. Dira?. Sebegitunya kah Dira berusaha buat Chika?. Atau Chika yang terlalu egois ? Sehingga ia tidak mau peka sedikit saja pada Dira. Chika mendesah berat. Ini gila!. Semua pertanyaan itu membuatnya makin terbeban.

“Hai, Chika”, sapa Dira. Seperti biasa, Chika hanya diam, mematung dan tatapannya dapat membuat kulkas mati kutu. Dira hanya tersenyum kecut melihat sikap Chika. Ia sudah kebal.
“Chik aku ajak jalan-jalan yuk, di luar asyik lho. Aku juga dibolehin sama suster kok ajak kamu jalan-jalan di sekitar rumah sakit”, ujar Dira. Chika hanya menoleh sebentar ke arah Dira kemudian berbalik ke posisi awal tanpa berucap apa pun. Dira menghembuskan nafas panjang.
“Oke, aku anggap kamu setuju”, ia mencoba untuk memancing Chika bicara. Tapi sama saja, Chika tidak bereaksi. Dira menyerah, ia pun segera menyeret kursi roda disampingnya dan menggendong Chika untuk duduk di kursi roda tersebut—kerennya, Chika nggak berontak sama sekali.
Dira mendorong kursi roda itu menuju ke taman belakang rumah sakit. Dira menghentikan kursi roda tersebut disebelah bangku taman dan ia duduk di bangku itu. Malam ini langit cerah. Dira menengadah keatas. Ia menikmati keindahan bintang yang berserakan di langit gelap. “Chika, malem ini lagi cerah lho. Bintangnya keren banget!. Sumpah deh ..”, ucap Dira riang. Tetapi Chika-tetep-diam. Dira masih aja keukeuh berjuang, dia tetep ceriwis cerita-cerita ke Chika tentang bintang. Yeah .. Dira emang maniak banget sama bintang, semua orang terdekatnya tahu itu kok.
Suasana hening, Dira udah berhenti cuap-cuap. Tiba-tiba Dira melihat satu bintang yang paling terang. “Chik, elo tau nggak?. Katanya tiap orang yang kita sayang kalo meninggal nantinya bakal jadi bintang. Haha. Keren kan tuh ..”, ucap Dira. Tapi, Chika tetap dalam “formasinya”. Dira merasakan hatinya pedih melihat Chika yang seperti mayat hidup itu.
“Ehmm .. Chik, dengerin aku ya .. . Apa pun yang terjadi, apa pun yang kamu rasain jadilah dirimu sendiri. Dan, lihat bintang disana! Sebanyak itulah orang yang sayang kamu, bahkan lebih!. Dan bintang yang paling terang adalah tanda kasih Tuhan untukmu. Dia akan selalu ada disaat kamu butuh dia .. “, ucap Dira panjang lebar. Dira terdiam sejenak. “Dan … gue harap, gue bisa jadi bintang yang paling terang buat elo”, bisiknya pada Chika.

Beberapa bulan kemudian …
Plakkkk!!. “Dasar kamu itu tidak tahu diri!!”. Dira langsung menghentikan langkahnya menuju dapur dan segera bersembunyi di balik tembok saat mendengar peperangan kedua orangtuanya sudah dimulai. Dira sebenarnya ingin menahan mereka berdua, tapi percuma. Dia pernah mencoba itu berkali-kali tapi malah ia yang jadi korban “tawuran” keluarga itu. Akhirnya saking emosi ia sudah malas ikut-ikutan dan memilih tetap duduk di bangku penonton saja walau sebenarnya yang ia rasakan sangat-sangat berat. Ia tak tahu benar duduk perkaranya, entah papa selingkuh dengan wanita lain atau mungkin mama yang berselingkuh. Entahlah, pokoknya apa pun alasannya itu seperti membunuh Dira perlahan-lahan. Ia merindukan masa kecilnya dulu. Saat hidupnya hanya berupa kebahagiaan. Ada Chika yang ceria dan ada orangtuanya yang selalu akur dan perhatian padanya. Tapi sekarang, surga itu sudah jadi nerakanya surga.
“tak tahu diri apanya?!! Kamu itu bisanya cuma main tangan sama perempuan!! Dasar tukang selingkuh!!”, teriak mama.
“Kamu apa aku yang selingkuh, ha? Selama aku kerja capek-capek diluar kota kamu ngapain? Malah main sama cowok-cowok nggak jelas. Dasar wanita tak berpendidikan!”
“yang nggak berpendidikan tu kamu ya!. Enak aja fitnah-fitnah orang!”
“terserah omongmu!, aku nggak peduli!. Dasar .. nggak ngerti aku apa mau kamu!”
“mau aku? Kita BERCERAI!!”
“oke! Kita cerai. SECEPATNYA”
Mulut Dira menganga lebar mendengar perkataan kedua orangtuanya itu. Ia. Tidak. Percaya. Sungguh!. Ia tidak bisa mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata. Dirinya hampa. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi. Ini begitu menyakitkan!!.

“Halo?”
“Oh, Dokter .. iya, benar. Ada apa?”
“wow!, benarkah??. Anda serius dok?”
“secepatnya kapan?”
“ha? Besok??. Hmm .. oke. Baiklah, bisa. Pasti, besok akan sangat lebih baik”
“iya, iya .. jam sembilan kan?. Baik terimakasih banyak, Dokter. Iya, selamat malam!”
Bunda menutup teleponnya. Chika yang sedari tadi keheranan melihat bunda begitu bersemangat berbicara dalam telepon langsung bertanya.
“apaan sih, Bun?”
“bunda punya kabar baik sayang!”
“apaan nih? Kok keliatannya seru banget?”
“emang seru abis!. Kamu tahu nggak? Dokter barusan bilang kalo kamu udah dapet donor mata dari seseorang. Haha. Tapi dokter bilang dia tidak bisa sebut nama si pendonor karena ‘dia’ tidak mau. O .. ya operasi kamu besok”
“Besok? Kok mendadak banget??”
“nggak tahu deh. Ah, nggak penting juga kan, Chik? Penting kamu besok udah dioperasi dan bunda yakin kamu pasti bisa liat wajah bunda yang cantik nan jelita ini. haha!”, ucap Bunda nyeleneh.
“kalo gitu mending kagak deh, Bun. Hahhaha bercanda!”, seru Chika tambah ngaco. Dasar… like children like mom.
“oke, mending kamu sekarang istirahat dulu biar besok bisa fit. Nite, sayang”, ujar Bunda lembut sambil mengecup kening Chika. Chika hanya manggut-manggut dan melesat menuju kamarnya. Sampai di kamar ia segera mengambil HPnya. Ia ingin secepat mungkin memberitahukan ini pada Valen, Shandy dan .. Dira!. Iya, Dira .. . Kini Chika mulai sedikit menyadari apa yang Shandy bilang dulu itu benar. Dira sungguh-sungguh menyayanginya dan mau melakukan apa pun untuknya. Ia pun berpikir, kenapa ia bisa se-egois itu?. Dia buta bukan karna Dira. Dia sendiri yang ingin menyelamatkan Dira, bukan Dira yang memintanya. Yah .. setidaknya karena itu, Dira berhak mengetahui hal ini pertama kali. Chika pun memencet keypad nomor 4—yang letaknya sudah ia hafal. Sekarang HPnya sedang disambungkan ke HP Dira.
Titttt … tittt … maaf nomor yang anda tuju sedang sibuk. Silahkan coba beberapa saat lagi. Ttttiiitttttt…
Dahi Chika jadi keriting. Ia mencoba meneleponnya lagi. Tapi yang ia temui malah Miss Mailbox. Ia mencobanya lagi berkali-kali. Sama saja. Nihil. Tak ada hasil. Tiba-tiba perasaan cemas menggerogotinya. Dira kenapa??.

No comments:

Post a Comment