Thursday, November 3, 2011

cerpen : change


Changed
Ini adalah liburan yang luar biasa membosankan. Seperti biasa, aku hanya akan berdiam diri di rumah, dan lagipula aku juga tidak mood untuk bepergian. Akhirnya, setelah berulang kali mama mengomeliku—dan aku baru saja sadar—tentang kamarku yang menyaingi kapal titanic yang karam, aku pun memutuskan untuk membereskan kamar kecil itu. Yah .. selagi liburan ini masih berlangsung agak lama.
Lap? Ready. Kemoceng? Ready. Sapu? Ready. Check!. Aku pun segera beranjak menuju kamar setelah persenjataanku siap. Tempat pertama yang aku datangi adalah rak buku. Secara aku seorang pecinta buku jadi aku ingin tempat yang gue banget itu bersih duluan. Tanganku mulai beraksi membongkar buku-buku yang sudah tidak karuan penempatannya. Aku bersin seribu kali saat aku membersihkan sebuah album foto besar yang mulai diselubungi debu. Entahlah, hidungku ini begitu sensitive dengan debu. Aku melihat album itu lagi. Aku masih ingat, ini album keluarga besarku. Karena album ini menarik perhatianku—dan karena dari dasar aku adalah orang pemalas—aku memilih untuk melihat-lihat album  foto ini sebentar. Tentu saja “sebentar” dalam definisiku sendiri.
Aku membuka halaman pertama album tersebut dan mendapati dua orang gadis kecil yang terlihat begitu akrab. Itu aku dan sepupuku, Lili. Lili satu tahun lebih tua dari aku. Mungkin karena hanya terpaut umur 1 tahun kami menjadi begitu dekat.
Tiba-tiba, benakku memutar masa kecilku bersama Lili. Saat itu Lili sudah mulai bersekolah, TK Kecil. Ia bersekolah di sekolah yang ada di dekat rumah kami (asal kau tahu, rumah kami pun bersebelahan). Karena aku selalu nempel sama dia, saat Lili sekolah pun aku mengikutinya. Di sekolah, Lili memiliki banyak teman yang akhirnya dia juga mengenalkan teman-temannya padaku. Anak ini memang asyik dan pintar berinteraksi. Namun, kadang ia bisa melupakan aku kalau sudah bermain dengan teman-temannya.
Waktu kecil aku sering diejek oleh teman-teman Lili karena tubuhku yang gendut. Teriakan memaki mereka pun masih berbekas di otakku. Pernah, aku sampai menangis karena merasa tak ada yang menghargai aku dan menerima aku yang gendut ini. Kadang terselip rasa iri kepada Lili. Dia tidak pernah diejek seperti aku karna dia tidak segendut aku.
Aku membalik lembar pertama. Kini aku dapati foto saat aku kelas 5 SD dan ia kelas 6 SD. Aku masih ingat kejadian saat aku, adikku, dan Lili bermain ke rumah Yuda, tetangga sekaligus teman dekat kami. Kami sering bermain PS disana karena Yuda memiliki usaha rental PS. And fortunately, berhubung kami dekat dengan keluarga mereka, jadi kami bisa main sepuasnya dengan gratis. Haha!. Saat bermain disana, banyak sekali cowok-cowok yang bermain PS di rumah Yuda, meminta nomor HP Lili. Aku bisa melihat Lili yang kegirangan saat mengetahui ia adalah orang yang menarik. Saat itu pula rasa iriku makin berkembang. Aku menyadari bahwa aku kalah cantik dengan Lili. Aku biasa-biasa saja sementara Lili memiliki aura yang dapat menarik perhatian orang. Sungguh, aku merasa selama ini aku hanya menjadi bayang-bayang Lili. Orang selalu menengok kearahnya tapi tidak padaku. Untunglah, aku bukan orang yang memiliki pemikiran pendek. Aku akui aku sangat iri pada Lili yang  cantik dan menarik, tapi aku tak pernah berpikir untuk membencinya. Maka, sejak saat itu aku bertekad untuk menjadi lebih baik dari Lili dengan usahaku sendiri.
Kini aku telah duduk di bangku kelas 6. Hidupku mulai berubah. Aku tidak gendut lagi seperti dulu, bahkan aku terbilang langsing. Aku juga kini jago basket dan asal kau tahu aku sudah ditembak seorang cowok. Oke, mungkin hanya satu tapi setidaknya itu suatu kemajuan dari keadaanku yang memprihatinkan. Selain itu aku juga sekarang jadi lebih dilirik para cowok.
Tak hanya aku yang berubah, hubunganku dengan Lili pun kini mulai berubah. Aku dan dia sudah tak sedekat dulu. Dia menjadi lebih dekat dengan Yuda. Kupikir mungkin karena mereka sama-sama sudah SMP jadi lebih nyambung. Lili masuk ke sebuah SMP yang tidak begitu bagus. Disitu aku mulai menyadari ternyata aku masih lebih pintar dari Lili.
Kami kembali dekat saat keluarga Yuda pindah ke Pulau Bali karna masalah keluarga yang menurutku fatal. Dan saat kembali mengenal Lili dalam versi SMP, ternyata tak berubah. Ia merupakan cewek popular disekolahnya. Karena ia cantik, selain itu ia adalah mayoret pertama di sekolahnya. Posisi yang identik dengan gadis berparas cantik ini memang sangat diincarnya. And as usuall, she always gets what she wants. Aku juga sering melihatnya bergonta-ganti pacar. Dan inilah yang kunamakan kembali menjadi bayangan.
Aku membalik lagi lembar album itu. Disana tertempel beberapa foto. Aku melihat foto kecil yang memaparkan sosokku dan Lili saat kami memasuki dunia SMP. Dimana kami mulai mengenal cinta monyet dan rona kehidupan SMP lainnya. Aku duduk di bangku kelas 7 sementara Lili kelas 8. Disinilah tercipta sebuah tragedi yang akan membuat hidup kami—Lili—berubah.
Malam itu, Lili bermain ke rumahku, seperti biasa kami akan saling curhat. Lili membolak-balikan majalah remaja yang ditaruhnya diatas tempat tidurku sementara aku sibuk ber-SMS dengan gebetanku. Haha, asal kau tahu. Beranjak SMP aku benar-benar berubah. Aku sudah ditembak belasan cowok dan aku dikenal orang disana-sini sebagai anak basket.
Tiba-tiba aku melihat air mata Lili yang menetes. Aku terkejut melihatnya. “Kamu kenapa?”, tanyaku. Dia tetap diam, tangisnya makin menderu. Awalnya aku berpikir dia habis putus dengan pacarnya, tapi dugaan itu kutampik mengingat yang suka memutuskan hubungan kan biasanya dia.
“Papi selingkuh sama Tante Tia. Aku mergokin sendiri tadi siang”, ucapnya disela tangis. Aku membeku, sungguh aku terkejut. Tante Tia adalah tetangga depan rumah, dan yang benar saja? Selingkuh??.
“jangan bilang siapa-siapa, ya? Ini yang tahu cuma aku. Mami nggak tahu”, pintanya. Aku hanya diam. Aku tak tahu harus bersikap bagaimana sementara aku tetap tak tega melihat Lili yang menangis pilu. Bayangkan kau menjadi aku!. Aku hanya seorang anak kelas 7 yang masih labil dan belum bisa mengambil solusi yang benar untuk masalah sebesar ini. Sementara melihat orang yang begitu dekat denganmu menanggung fakta ini sendirian padahal ia juga masih terbilang labil.
Aku menghembuskan nafas mengingat saat Lili mengatakan kalimat itu. Karena, sejak saat itu ia menjadi anak yang rusak. Ia jarang dirumah, ia selalu pergi bermain mencari kesenangannya sendiri. Sepertinya aku mengerti jalan pikirannya menjadi seperti itu. Karena pakdhe, karena papinya itu. Dapat kupastikan ia berpikir ‘kalau kamu begitu, kenapa aku nggak boleh?’.
Saat kami telah menjadi siswi SMA, Ia sering keluar malam dan pulang pagi atau berangkat pagi pulang dini hari. Ia sering membolos. Ia pun sering berganti-ganti pacar dengan cowok yang rusak tapi kaya. Itu tadi, kaya. Kini, ia berpacaran dengan cowok bernama Yoka. Aku kenal dengan Yoka karena ia adalah temanku bermain basket. Dia anak seorang pengusaha yang tengah naik daun. Usaha kuliner Jepang milik papa Yoka begitu diminati. Namun, walaupun ia menyandang gelar sebagai anak pengusaha kaya, Yoka tidak bertindak sebagaimana mestinya. Ia cowok nakal, tukang minum, juga perokok dan dia sudah putus sekolah. Mungkin tingkah lakunya ini merupakan efek dari perceraian kedua orangtuanya. Selain itu, Yoka juga sering kasar terhadap Lili. Beberapa kali aku melihat luka cakar dan lebam yang menempel di tubuh Lili. Aku iba melihatnya. Sudah kubilang beberapa kali pada Lili untuk meninggalkan Yoka, tapi Lili terlanjur cinta mati padanya. Huhhh .. ya sudah, aku hanya bisa diam.
Suatu malam, Lili mengajakku pergi ke kost-kostan Yoka untuk mengambil HPnya. Ia memintaku menemaninya karna ia takut ia akan didamprat oleh Yoka nanti. Aku pun mengiyakan karena aku juga mengkhawatirkan Lili. Setelah mendapat ijin dari orangtuaku—yang tentunya dengan sedikit berbohong. Karena aku tidak mungkin bilang akan ke kost-kostan Yoka—aku dan Lili segera menuju ke tempat tujuan. Sampai disana, aku mendapati kost-kostan 2 lantai yang agak gelap dan lumayan sepi. Kami mulai mendekat. Aku dapat melihat dilantai bawah ada teman-teman se-geng Yoka sedang nongkrong. Aku tidak menggubris mereka. Lalu, aku dan Lili meniti tangga untuk menuju kamar kost Yoka.
Aku memandangi Lili yang berjalan pelan didepanku. Ia keliatan sedikit ragu. Tiba-tiba Lili berhenti dan mengetuk pintu salah satu kamar yang sudah pasti kamar Yoka. Pintu terbuka, dan disana telah tertampang sosok Yoka yang berantakan dan terlihat habis minum. Jantungku berderap lebih kencang. May it gonna be okay ..
“Kenapa?”, ucap Yoka parau.
“Emm .. Aku mau ambil HP aku”, jawab Lili dengan suara yang begitu pelan. Mungkin hampir tak terdengar. Yoka diam. Tak ada reaksi. Ia pun membalikan badan memasuki kamar. Sekembalinya, Yoka telah membawa handphone Lili dalam genggamannya. Aku merasa sedikit lega karena ternyata Yoka malam ini tidak melukai Lili.
“Lo mau ini?”, tanya Yoka sambil mendekatkan HP Lili ke wajah gadis itu. Lili hanya mengangguk pelan. Perasaanku tidak enak, pasti akan terjadi sesuatu..
Ppprraanngggg!!!.
“makan tuh HP lo!”, serunya setelah ia menjatuhkan HP Lili ke lantai bawah denga kasar. Lili hanya bisa diam dan menangis. Ia baru saja akan membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, tapi tangan Yoka lebih cepat. Yoka menampar Lili dan membuat tangisnya makin jadi. Aku tak berkutik. Serba salah!. Aku takut kalau aku bertindak sesuatu, itu malah makin mencelakakan Lili.
Tiba-tiba, Yoka menyeret Lili memasuki kamarnya dan membanting pintu itu keras-keras. Tinggal aku sendirian disana. Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Aku hanya bisa diam. Aku menunggu beberapa waktu di koridor kost-kostan tersebut dan tak ada suara apa pun yang terdengar dari dalam kamar. Aku mulai gelisah. Ada apa ini?. Diam-diam, aku mengintip melalui jendela kamar Yoka. Dan aku benar-benar terkejut dengan penglihatanku!. Menjijikan!. Aku melihat mereka berciuman dengan penuh hasrat. Dan melakukan cara pacaran yang begitu kotor. Aku bergegas membuka pintu tersebut namun pintu itu terkunci. Aku memukul-mukul jendela dan pintu kamar namun mereka tak menggubrisnya. Aku menghembuskan nafas. Rasanya percuma kalau begini!. Aku bergegas menuruni tangga. Dan begitu muaknya aku, saat melihat teman-teman se-geng Yoka juga melakukan hal kotor yang sama. Iiiuucchh~
Setelah beberapa lama aku menunggu Lili ditempat parkiran, akhirnya ia datang juga. Aku menatapinya dengan perasaan campur aduk. Kesal, kasihan, dan sedih.
“Aku tadi liat apa yang kamu lakuin sama Yoka di kamar”
Lili membuang nafas. “itu udah biasa”, jawabnya singkat.
“tapi itu namanya pelecehan!”, seruku. Tapi Lili hanya diam kemudian menyalakan motor dan mengisyaratkanku untuk duduk di bangku belakang.
©
Sepulangnya dari kost Yoka entah kenapa papa dan mama jadi marah-marah sendiri karna aku pergi main bareng Lili. Aku heran. Banget. Ucapku,”katanya nggak boleh mbeda-mbedain sodara? Kenapa aku nggak boleh main sama Lili??”. Aneh. Lili sudah dekat denganku sejak kecil dan garis bawahi, ya! Dia sepupu dekatku!. Namun, orang tuaku hanya diam saat aku menanyakannya.
Selama beberapa hari aku ngambek pada ortu karna masalah kemarin. Aku masih nggak mengerti kenapa mereka jadi begitu berubah. Namun semua terungkap saat orangtuaku menceritakan sebuah fakta. Lili pernah hamil dengan Yoka. Janinnya telah memasuki usia 3 bulan. Dan ternyata pula Lili telah melakukan aborsi karnanya. Aku hanya bisa ternganga mendengarnya. Saat itu, aku sadar. Orangtua akan selalu menjaga kita walau cara mereka kadang aneh dan membuat kita salah mengerti. Sejak itu pula, aku mulai menjaga jarak dengan Lili. Aku tetap mendengarkan ceritanya, hanya saja aku mengurangi bermain dengannya.
Day after day. Month after month. Year after year. Sampailah aku di suatu malam yang kelam. Malam itu, aku mendengar suara ribut-ribut dari luar rumahku. Ternyata itu berasal dari rumah Lili. Papaku bergegas menuju kesana namun aku, adik dan mama sadar diri untuk tidak ikut campur dalam urusan ini. Aku tak bisa menangkap apa yang terjadi diluar sana. Aku hanya mendengar suara hantaman keras, jeritan, tangis dan berbagai kata umpatan dari seseorang.
Beberapa jam kemudian, papa telah kembali dengan ekspresi yang tidak dapat ditebak. Beliau pun mengumpulkan kami sekeluarga dan menjelaskan semuanya.
“Lili tepaksa sekolahnya gagal. Dia hamil 7 bulan. Ini tadi Yoka dan orangtuanya udah dateng buat ngelamar dia. Mau nggak mau, dia harus menikah. Karna nggak mungkin lagi aborsi. Dia udah membunuh satu anak dulu, dan nggak mungkin hal itu dilakukan lagi”.
Badanku membeku saat mendengar penuturan papa. Inilah klimaksnya. Inilah akibat dari semuanya. Inilah balasan atas semua perilaku yang sudah diperbuat. Dan inilah yang membuat semuanya berbeda. It’s changed ..
©
25 Agustus 2011.
Hari ini aku berada di pesta pernikahan Yoka dan Lili. Aku bergegas menuju pelaminan mereka untuk bersalaman. Entah apa yang kurasakan saat aku melihat rona bahagia di wajah Lili. Haha. Buatku, ia gila saking cinta matinya pada Yoka. Tapi, biarlah. Asalkan ia bahagia, mungkin itu cukup. Ya, aku bisa melihatnya. Ia bahagia. Dengan Yoka maupun dengan the little boo-boo dalam kandungannya.
“Selamat berbahagia ya, Li”, ucapku sambil tersenyum dan memeluknya.


Galuh Widyastuti.

keep reading ^^

No comments:

Post a Comment