Monday, November 28, 2011

cerpen : Red in Peace (RIP)

Red in Peace
“Halo, semua!!”, suara lembut gadis itu menyeruak. Matanya menyapukan pandangan pada seluruh penghuni panti asuhan. Senyumnya yang merekah semakin mencerahkan aura kecantikannya. Kecantikan yang sederhana. “Kak Gea bawa cheese cake! Siapa mau??”, ucapnya penuh kehangatan. Suara lembut itu kini berubah, terdengar sedikit kekanakan. Gea bagai malaikat pembawa kabar baik. Entah karunia apa yang diturunkan Tuhan untuknya, hanya saja ia seperti alat Tuhan untuk bekerja dalam kebaikan. Dan malaikat ini datang untuk mereka.
Anak-anak kecil yang begitu dekat dengan gadis ini langsung menyerbunya yang berdiri di ambang pintu. Badannya agak tergoyah.  Walau sedikit kewalahan, matanya menyorot pasti tiap antusiasme anak-anak ini. “Aku mau, kak! Aku mau!”, seru mereka berebutan. Di wajah Gea tergores sebuah senyum saat melihat kebahagiaan anak-anak ini, malaikat-malaikat kecilnya.
“Eeitss .. anak-anak, jangan berebut! Nanti kuenya malah jatuh lho. Kasihan juga itu Kak Gea jadi berantakan”, Bunda Ira—sapaan bagi Kepala Panti—mulai membawel.
“Nggak apa-apa kok, Bun”, Gea kembali tersenyum. Ia berikan cheese cake itu pada Bunda Ira.
“Terimakasih ya Gea, kamu baik sekali”. Dinaikkannya kedua alisnya.
“Bunda lebay ah .. Gea kan udah sering kesini buat bagi-bagi ke adik-adik”, senyumnya tulus. Wanita tu ikut tersenyum dan berbalik menuju dapur untuk menyajikan cheese cake ini. Gea gadis baik. Ia cantik, pintar, pemurah dan sederhana walau ia anak konglomerat. Ia juga sangat aktif dalam kegiatan sosial. Bunda masih heran ada orang sepertinya. Ia—tentu saja—bukan anak dari panti asuhan ini yang kemudian diadopsi seorang konglomerat. Ia anak konglomerat asli. Tapi mengapa ia sebegitu baik pada anak-anak ini? Itu yang Bunda tak habis pikir.
“Kak Ge, lihat! Aku sekarang bisa bikin bintang lho!”, ucap Toto. Gadis mungil berusia 5 tahun itu memamerkan botol kecil berisi origami bintang. Gea tersenyum lebar. Dua hari yang lalu, ia mengajari Toto untuk membuat origami bintang karena ia tahu Toto sangat menyukai bintang. Awalnya, anak ini kesusahan. Ia sampai jengkel sendiri karna tidak berhasil membuatnya walau sudah mencoba beberapa kali. Namun, dalam kurun waktu 1 jam dia berusaha, akhirnya Toto bisa membuatnya. Bahkan ia mahir sekarang!. Gea tahu, untuk ukuran gadis berumur 5 tahun, Toto adalah anak yang pintar dan tekun.
“Siapa dulu dong yang ngajarin??”, Gea memainkan alisnya.
“Kak Ge memang kereennnn!!”. Sebuah ibu jari kecil teracung dihadapannya.
“Kamu juga kok”, ia tersenyum sembari mengelus lembut rambut Toto.
Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk. Sedetik kemudian muncul sesosok pria berbaju casual dengan menenteng dua buah tas besar. Pria itu melangkah masuk ke ruang tamu panti dan mencopot topi abu-abu yang sedari tadi menutupi wajahnya. Rahangnya kuat, dagunya runcing, lehernya terlihat jenjang. Parasnya yang tertata apik mampu melukiskan kesan seorang pelindung.
“Kak Joe!!”, anak-anak melakukan hal yang sama seperti saat Gea masuk pertama kali. Gea memalingkan kepala kearah yang dituju malaikat-malaikat kecilnya.
“Hai jagoan-jagoan! Apa kabar? Huh?”, tanya orang bernama Kak Joe tadi sambil tersenyum lebar. Gigi putihnya yang berjejer rapi terpamerkan dalam senyum lebar yang mempesona itu.
“Baik dong, Kak!”
Loki, anak laki-laki dengan rambut seperti jamur menaruh rasa penasaran dengan tas-tas besar itu. “Kak Joe bawa apa?”
“oh ini … mau tahu aja!”
“huuuuuu!!”, anak-anak langsung menyoraki si Joe tadi.
“Haha!. Ini Kak Joe bawa mainan sama buku buat kalian! Ini ambil aja!”, serunya sambil menurunkan kedua tas yang sedari tadi dalam genggamannya. Gea tersenyum manis melihat begitu antusiasnya anak-anak menerima hadiah dari si Joe ini, apalagi saat mereka berteriak-teriak kegirangan karena mendapat mainan atau buku yang keren. Atmosfer kebahagian mereka ikut menyelubungi hati Gea.
Ia tersentak saat merasakan pundaknya ditepuk oleh seseorang. Ia menoleh ke kiri dan mendapati sebuah tangan telah terulur disana. “Joe”, kata lelaki itu. Gea menatapinya. Laki-laki ini tersenyum dengan dua lesung pipi yang membuat senyumnya terlihat manis, rambutnya hitam legam, hidung mancungnya kokoh, kulit tanned-nya itu mewujudkan kesan maskulin. Sebuah penggambaran yang baik, bukan? Singkatnya, laki-laki ini menarik. Tapi yang paling membuat Gea tertarik adalah mata beningnya yang berwarna abu-abu. Wow! Dimana lagi kau bisa menemukan mata seindah ini di negara ini?, batinnya. Gea tersenyum lalu membalas tangan Joe, “Gea”. Kini giliran Joe yang memperhatikan Gea. Gadis ini memiliki senyum yang ekspresif, rambut panjangnya yang lurus berwarna kecoklatan senada dengan matanya, kulitnya kuning langsat tidak pucat putih. Coklat dan kuning langsat. Perpaduan warna yang begitu indah dalam tubuh satu sosok. Ah .. belum lagi bibirnya yang kemerahan itu. Bak gambaran nyata seorang malaikat pembawa kabar baik.
“Keturunan Rusia?”, tanya Gea sambil meringis, membuat wajahnya terlihat lucu. “Maaf, kalau terkesan nggak sopan nanyanya. Hehe”, sambungnya lagi. Joe tersenyum dan kedua lesung pipi itu kembali hadir.
“Iya, kau tahu darimana?”
“Mata”, tunjuk Gea pada matanya sendiri. “Abu-abu. Keren!”. Diam-diam Joe agak geli dengan gerak-gerik Gea yang lucu.
“Haha! Ngomong-ngomong, untuk apa ku kesini? Aku sebelumnya tidak pernah melihatmu disini deh ..”
“Aku sama sepertimu, main-main saja kesini. Kadang suka bawain barang-barang buat adik-adik gitu. Aku juga tidak pernah melihatmu. Mungkin karena kita kesini beda jam kali ya? Aku kesini juga hanya seminggu sekali”, jelas Gea.
“Ohh .. begitu. Mungkin sih. Hehe. Hampir tiap hari aku ke tempat ini. Habisnya di rumah juga tidak ada kerjaan, nggak ada temen. Ya sudah, main-main aja kesini”
Mulut Gea membentuk huruf O. “Kamu suka kegiatan social?”, tanyanya. Joe mengangkat salah satu alis. “Ehm-hmm”, ia mengangguk pelan. “Kenapa?”. Gea menjentikan jarinya. Matanya pun berbinar. Aura malaikat itu seketika terpancar pula dari matanya.
“Aku juga suka! Suka banget malah! Hehe. Suddah ikut apa saja?”
“Too many to tell you”, ucap Joe berlaga belagu.
“Uh-huh? Well, let me know”, Gea tak mau kalah dengan memasang tampang pongah.
“Kau itu mau minta diceritain atau mau menantangku tawuran sih? Hahaha”. Gea memeletkan lidahnya. Kedua orang itu tertawa bersama dan berujung larut dalam sebuah percakapan seru.
҉
Joe membawa dua cangkir coklat panas ke teras depan rumahnya. “Nih ..”, Joe segera memberikan cangkir di tangan kanannya pada Gea. Gea yang sedari tadi terduduk sambil melihat hujan tersenyum dan berterimakasih. Sebulan terakhir ini mereka semakin dekat. Atau bisa kita sebut mereka bersahabat. Walau dalam sebulan, mereka bisa saling mengenal dengan mudah. Mungkin itu karena hobi mereka pada kegiatan sosial dan beberapa hal lain yang mendukung mereka untuk menjadi teman yang klop.
“Kelihatannya ke panti bakal terlambat nih. Hujan nggak ada ampun begini ..”, gumam Joe ditengah-tengah menyesap coklat panasnya. Panas itu menjalari tiap sudut dingin dalam tubuhnya. Sungguh nikmat meneguknya ditengah hujan seperti ini.
Gea hanya mengangguk pelan tanpa menatap Joe, fokus matanya masih terekat pada hujan. Joe memperhatikan Gea, ini anak .. apa sih spesialnya lihat hujan?. Pertanyaan Joe yang ke sekian kalinya. Gea memang sudah menjelaskan berkali-kali bahwa suara hujan bisa membuatnya tenang. Namun bagi Joe suara hujan sama saja. Apa yang spesial dari suara air yang turun dari langit? Tak ada beda, bukan?.
“Ge, besok ada bakti sosial buat hari anak. Mau ikut nggak? Aku nggak ada temen nih!”
Gea segera mengalihkan pandangannya, membenarkan posisi duduk pada sofa empuk berwarna pastel itu. Ia tersenyum, begitu pula dengan matanya.
“Dimana?”, tanyanya antusias.
“Di dekat balai kota. Nanti kita keliling-keliling ke beberapa panti asuhan gitu kelihatannya. Tapi ini lebih ke anak-anak yang special need gitu. Kelihatannya bakal asyik. Bagaimana? Bisa kan?”
Absolutely yes!”, ucap Gea tertawa renyah. Namun, tawa itu terhenti saat mata Gea menangkap ekspresi aneh di muka Joe. Gea mengerutkan dahinya. Memang ada apa sih?.
Tiba-tiba Joe menunjuk tepat ke arah muka Gea. Gea makin bingung.
“Apaan?”
“Hidung kamu ..”, gumaman Joe menggantung. Dengan segera Gea meraba hidungnya. Ia rasakan sebuah cairan mengalir. Oh-my-God .. , gumamnya saat melihat tangannya kini berlumuran darah yang berasal dari hidungnya tadi. Dicarinya tisu di dalam tas kecilnya untuk membersihkan aliran darah itu. Lalu disumbatnya lubang hidung tersebut dan ia dongakan kepalanya. Heran, tak biasanya Gea mimisan seperti ini.
“Kamu sering mimisan?”, di suara Joe tersirat sebuah kecemasan. Gea meliriknya sebentar lalu menggelengkan kepalanya. Dahi Joe berkerut. Namun beberapa saat kemudian dia menghembuskan nafas keras-keras. Gea yang terheran menyadari tingkah Joe itu meliriknya lagi. Mengisyaratkan kata “kenapa?”.
“Nggak apa. Mungkin kamu kecapekan”, jawab Joe yang menyadari isyarat itu.
Gea mengangkat kedua alisnya, “Well, don’t worry, dude. Aku saja santai begini, kok kamu yang kelihatannya panik gitu?”. Joe menjawabnya dengan senyum tipis.
҉
Gea merasa kepanasan.
Diusapnya peluh yang bercucuran dengan handuk kecil berwarna pink soft. Setelah ini ia dan Joe juga beserta rombongan sukarelawan akan menuju ke panti yang terakhir. Si ketua rombongan menjelaskan bahwa panti yang kali ini kebanyakan adalah anak-anak pengidap hidrocepalus. Gea yang mendengar kata hidrocepalus itu langsung bergidik ngeri membayangkan anak-anak kecil lucu yang tak berdosa memiliki penyakit yang membuat kepala mereka membesar.
Joe telah kembali memasuki bus rombongan dan duduk disebelah Gea.
“Sudah lega?”, tanya Gea sambil menahan tawa.
“Sudah!. Emang susah kalau sudah nggak ‘setor’ tiga hari”, ucap Joe santai.
“Dasar jorok!”
“Aduh!!”, erang Joe sambil mengusap-usap kepalanya yang ditonyor Gea sementara Gea terus tertawa jahat bercampur jijik membayangkan apa yang dikatakan Joe.
“Ge .. pinjem anduk kamu”, tanpa basa-basi Joe langsung menyerobot handuk Gea sebelum gadis itu sempat berkata apa-apa. Gea terkesiap saat dirasakannya tangan Joe mengusap dengan cepat hidungnya. Ia baru mengerti apa yang dilakukan lelaki ini setelah tangan itu kini menunjukan handuk berlumur darah tepat didepan matanya. “Kamu mimisan lagi”. Gleeekkk!!
Joe mencoba membaca ekspresi Gea. Ia terlihat begitu kaget. “Kamu memang sering gini ya?”, tanyanya serius. Gea menggeleng. “Ge .. beneran”, desaknya lagi. Gea terdiam sejenak. Ia lalu menggeleng lagi.
“Ge, ini aku tanya bene …”
“Nggak, Joe. Aku juga nggak mengerti!. Ini ketiga kalinya aku mimisan”
“Kamu harus periksa”
“Nggak, ah!. Aku tak sapa. As you said before, maybe I’m tired”
“Tapi aku yakin ini berbeda!”
“I’m-okay!. Can you hear that?? Lagi pula cuma mimisan kok!”. Dalam ucapan Gea tersirat suatu kecemasan walau ia tetap berkeras mengatakan ini baik saja. Joe dapat melihatnya, Gea menolak untuk takut sesuatu terjadi padanya.
Joe meniup rambutnya tanda frustasi. “Terserah”. Satu kata pendek, lalu ia membungkam.
҉
Joe membilas tangannya yang tertutup busa sabun. Ia matikan keran air. Selesai sudah tugasnya membantu mencuci piring siang itu. Diambilnya lap untuk mengeringkan tangan.
“Anak laki-laki bunda yang kurang kerjaan”, ucap Bunda dengan nada dibuat-buat kesal namun senyum lebar tersungging di wajahnya paruh bayanya.
“Aku tahu Bunda hanya terlalu sungkan dan merasa aku kerepotan kan?. Haha. Jadi berhentilah berlaku galak seperti itu, Mam”
“Hahaha. Terserah kau saja. Ini minum. Tanda terimakasih untuk laki-laki yang kelewat baik sepertimu”, beliau menyodorkan segelas jus yang begitu menggoda di siang hari seperti ini. Joe menerima gelas itu dan mengangkatnya sesaat sambil mengucap terimakasih. Diteguknya dengan cepat, seperti kesetanan. Namun sungguh, panas hari itu membuatnya begitu haus.
“Ngomong-ngomong, Joe. Bagaimana perkembangannya?”. Joe melirik Bunda. Diselesaikannya seteguk terakhir kemudian berkata, “Perkembangan keadaanku maksud Bunda?”
“Apa lagi?”, Bunda mengendikan bahu.
“Menurut Bunda bagaimana? Aku terlihat normal bukan?”
“Tentu saja. Dan kau tahu orang lain juga memandangmu dengan sama”
“Kalau begitu itu sudah cukup menjawabnya bukan?”. Dilipatnya kedua tangan didepan dada. Joe melihat respon bunda itu menghela nafas.
“Aku hanya berharap bisa memperpanjang ini. Dokter sudah bilang ini tidak akan lama, namun aku akan menunjukan bahwa aku cukup kuat”
“Tapi, Joe. Cepat atau lambat, hal ini akan terlihat oleh orang lain. Kau juga tak mungkin selamanya bersembunyi dibalik ‘benda itu’”. Mulut Joe terdiam mendengar pernyataan bunda. Cepat atau lambat.
“Aku mengerti”
҉
Diketuknya pintu rumah sederhana itu. Beberapa saat kemudian muncul wanita paruh baya membukakan pintu untuknya. Wanita itu terlihat agak berantakan, seperti habis melakukan suatu pekerjaan yang cukup berat.
“Eh, si Mbak!. Mau ketemu Mas Joe?”, seru pembantu Joe dengan logat Jawanya yang khas.
“Iya, Bi. Joe di rumah kan?”
“Iya, itu lagi di ruang lukisnya. Mari, saya antar”. Ia sedikit heran. Joe suka melukis?. Namun segera diikutinya wanita itu menuju ke sebuah ruangan berukuran sedang dengan berbagai karya lukisan tertempel di tembok. Kebanyakan lukisan tersebut menceritakan tentang sosial dan anak-anak.
“Wah .. mas Joe-nya ndak ada. Mungkin lagi ke toilet. Mbak tunggu disini dulu aja, Bibi mau ke dapur dulu ya melanjutkan masak. Selak kawanen. Mbak mau minum apa? Sekalian Bibi bikinin”
“Nggak usah Bi, nggak haus. Terimakasih”, ucapnya disertai dengan Bibi yang segera melesat ke dapur.
Matanya menyapu seluruh lukisan di ruangan itu. Didekatinya satu persatu. Lukisan-lukisan ini begitu indah!. Seakan di tiap-tiap goresannya memiliki makna tersendiri. Tapi, ada sebuah lukisan yang begitu menariknya. Lukisan itu berukuran sedang—emm mungkin lebih menuju kecil, hanya terdiri dari warna merah dan putih. Ia menyukai lukisan ini karna warna merahnya yang begitu kontras. Terlihat jelas disana tergambar seorang malaikat cantik yang menggenggam setangkai mawar merah. Ia memiliki sayap yang terbuat dari mahkota bunga mawar merah. Tulisan kecil Red in Peace (R.I.P) terpampang dipojok kanan bawah. “Judul yang aneh”, gumamnya. “maksa lagi. Haha”, ia terkekeh sendiri.
Kembali diamatinya lukisan itu. Tiba-tiba ia menemukan bercak air berwarna merah yang mulai kering yang ia yakini bukanlah cat. Disentuhnya cairan itu. Texturenya lebih cair dari cat. Ada yang janggal. Ia pun mencoba mambaunya. Baunya seperti ..
“Ge? Sorry ya menunggu lama!”. Gea terkesiap saat suara Joe menerpa telinganya.
“Kau ini, mengagetkan saja!”, eram Gea. Namun ia seketika terkikik geli saat melihat hidung Joe yang merah seperti Rudolf. “hahahha hidungmu kenapa bisa merah seperti itu?”
Berkebalikan dengan ekspresi Gea, Joe malah gelagapan sendiri mendengar pertanyaan itu. “E-ehh .. ini a-aku hanya sedang flu. Jadi ya gini deh kebanyakan ingus”
“Kamu flu? Kok nggak bilang? Yahh .. berarti ntar nggak bisa nemenin ya?”
“Nemenin kemana?”
“Nanti sore aku mau periksa soalnya ngeri juga aku jadi sering mimisan begini. Tapi kalau kamu sakit begini ya sudah ntar aku bareng mama saja kalau beliau sempat”
Mulut Joe membentuk bulatan kecil. “Sorry, nggak bisa nemenin buat kali ini”, ucapnya meringis.
“It’s okay. Get well soon, boy. Eh, by the way .. kamu ternyata jago melukis toh? Keren lho! Aku paling suka yang Red in peace tadi itu tuh .. tapi hahaha sumpah ni ye, judulnya agak maksa”, ucap Gea sambil menjulurkan lidahnya. Ditonyornya kepala gadis itu sambil ikut tertawa.
“Kok judulnya gitu sih?”
“Jangan salah itu ada artinya tahu!”
“Apa iya?”
“Tengil banget?! Hahaha iya dong. Red in Peace or RIP. Merah dalam kedamaian. ‘Merah’nya itu ambigu. Bisa diartikan kedalam beberapa konteks. Kalau buat lukisan itu sih sejenis penyebab yang bikin dia masuk dalam kedamaian abadi”, tutur Joe bak seorang filsuf.
“Ahhh??”, Gea memasang tampang dongo. Joe mengangkat bahunya. “yah .. biasa lah. Susah ngomong sama anak kecil”. Gea mendelikan matanya pada Joe—mencoba garang.
҉
Joe kalap!.
Sudah sekitar dua minggu ini Gea menghilang. Sejak Gea mampir ke rumah Joe 2 minggu lalu ia tidak pernah lagi melihat gadis itu. Ia sudah berkali-kali menghubungi HP Gea dan berkunjung ke rumah anak itu. Tapi HP Gea tidak pernah aktif dan orang rumah selalu berkata bahwa Gea  sedang tidak ada di rumah. Gea bahkan juga tidak memberitahu hasil pemeriksaannya. Aneh. Pasti ada yang salah!.
Tiba-tiba Joe teringat pada panti dimana mereka bertemu. Iya, panti!. Ia pasti di panti!. Bodoh, kenapa ia tidak berpikir sampai kesana??. Diambilnya jaket dan bergegas menuju ke panti asuhan tersebut. Sesampainya di panti ia disambut sendirian oleh bunda karena saat itu sedang jam  tidur siang bagi anak-anak.
“Bun, Gea disini?”, tanya Joe tergesa-gesa.
“Kamu kenapa kok buru-buru gitu?”
“Ada apa tidak, Bun?”, suara Joe mulai meninggi sedikit.
“Iya ada. Dia sudah hampir seminggu menginap di sini”
“Sekarang dimana dia?”
“Itu di taman belakang. Memang ke..”. Joe berlalu meninggalkan Bunda sebelum wanita itu menyelesaikan pertanyaannya.
Joe mendapati Gea yang duduk di tepi kolam ikan besar sambil memberi makan ikan-ikan koi di dalamnya. Mata gadis itu sayu. Ia heran melihat perubahan sahabatnya ini. Apa yang telah terjadi?. Didekatinya Gea secara perlahan. Gea tersentak pelan saat Joe memegang pundaknya.
Where have you been? Kenapa kamu menghilang?”, tanya Joe saat gadis itu menoleh padanya. Gea hanya diam. Tatapannya hampa. Joe mencoba menyelami mata coklat itu. Tak ditemukannya sahabatnya itu. Jiwa Gea seperti tak ada dalam tubuh ini. Aura malaikat pembawa kabar baik itu pun seperta hilang, lenyap. Termakan oleh pijar gelap pencabut kebahagiaan.
Joe menyusuri tiap sudut sosok ini. Mencari tahu dimana kesalahan itu. Mencari dan mencari untuk mendapatkan malaikat pembawa kabar baik ini kembali. “Gea!”, desaknya yang mulai menggila. Ini aneh!. Ada apa dengan Gea?.
Beberapa detik kemudian kehampaan itu hancur oleh air mata. Gea menangis. Ini pertama kalinya Joe melihat gadis tegar ini menangis. Air itu terus mengalir. Kini bukan lagi hujan yang termata-matai, namun matanya yang terhujani. Kesedihan, kehampaan, kesepian, ketidak adilan besinergi dalamnya. Membuat tubuhnya tergoncang seiring derai air mata.
“Kamu kenapa?”, tanya Joe lembut. Ia tidak menjawab. Ia malah mengeluarkan selembar kertas dari kantung bajunya dan mengacungkannya pada Joe.
“A-aku sakit ..”, ia mencoba bicara ditengah tangisnya. “Dokter b-bilang a-aku .. le .. le-leukimia”. Joe tak bereaksi. Ia sudah mempersiapkan hatinya untuk mendengar kabar buruk ini jauh-jauh hari. Ini sesuai dengan dugaannya.
“Lalu? Caramu dengan menghilang seperti ini?”
“Dunia nggak adil Joe! Leukimia nggak bisa disembuhin! Gue sudah hampir masuk ke stadium akhir dan ini sudah sangat parah! Hidupku tinggal sebentar setelah itu aku mati!. Do you realize? I’ll die! Aku tahu nantinya kita akan meninggal. Tapi haruskah aku menemui ajal semuda ini? Ini nggak adil!. Aku berhak mendapat hidup yang lebih panjang!”
“Tapi bukan begini caranya kamu menghadepi itu!”, balas Joe tegas. Rahangnya mengeras, menahan segala emosi.
Bullshit! Tuhan nggak sayang aku lagi, Dia nggak adil!”
“Kamu nggak pantas ngomong seperti itu! Cara pikirmu salah!”, diacungkannya telunjuk itu tepat di depan muka Gea.
Gea meremas rambutnya. “Kamu bisa ngomong gitu karna kamu tidak mengalami seperti apa aku sekarang!”. Gea bertekuk lutut. Tubuhnya lemas. Ditangkupkan kedua tangannya di wajah. Menangisi keadaan yang dirasanya tidak adil.
Joe menyunggingkan senyum miring. Manusia memang tidak pernah bersyukur ..
“Asal kau tahu, Ge. Aku mengerti apa yang kamu rasakan ..”
“Nggak usah sok ngertiin! Kamu nggak punya alibi soal ini”
“Memang nggak punya, karna ini fakta. Ge, lihat aku!”. Gea mengangkat kepalanya. Sementara Joe menggenggam erat rambutnya. “Bahwa aku juga pengidap leukimia”, ditariknya rambut palsu yang selama ini menutupi identitas penyakitnya. Gea ternganga melihat pemandangan didepannya. Joe yang berbeda. Joe yang tak memiliki rambut. Joe yang ternyata mengidap penyakit yang sama dengannya. Ini Joe yang kuat, bukan? Tak mungkin!. Namun Gea melihat kulit kepala Joe yang pucat dan rambut dalam genggaman tangan laki-laki itu. Dan itu cukup membungkamnya. “Aku sudah bersama-sama dengan penyakit ini selama setahun. Dokter mengvonis hidupku hanya 5 bulan lagi, tapi buktinya aku masih bisa berdiri disini sekarang”
“Tapi kamu terlihat normal-normal saja”
“Itu karna aku nggak mau orang-orang mengenalku sebagai orang lemah yang menyerah begitu saja sama penyakit. Aku merasa hidupku normal walau dengan leukemia ini. Dan itu pun akhirnya yang dilihat orang lain. Mereka nilai aku normal-normal saja”
Tiba-tiba Gea teringat pada lukisan RIP-nya Joe. “Red in Peace.. merah itu bukan cat kan?”
Joe tersenyum. “Iya. Itu daraku. Waktu aku mau melukis tiba-tiba mimisan lagi. Aku mau bikin darah ini berharga. Makanya aku jadiin sebagai pengganti cat. Waktu habis meluki darahku ternyata tetep nggak berhenti. Akhirnya setelah aku gantungin itu lukisan, cepat-cepat aku ke kamar mandi untuk membersihkan darahku. Waktu aku balik, kamu lihat sendiri hidungku merah. Hari itu aku nggak flu, aku bohong. Dan maksudnya Red in Peace itu darah yang akan bawa aku ke kedamaian abadi. Entah kapan yang pasti aku akan mati karna darah”.
Suasana hening. Kesunyian yang mencekam. Gea menghembuskan nafasnya lembut. “Sorry, mungkin karna gue masih shock. Nggak seharusnya aku kayak gitu. aku nggak mikir ada orang yang lebih parah dari aku. Dan ternyata itu kamu sahabatku sendiri”
“Nggak apa”, ucap Joe mengusap lembut rambut Gea. “Manusia memang suka lupa diri. Tidak pernah bersyukur dengan apa yang dia punya”.
҉
Gea membawa kue tart kecil untuk ulang tahun Joe hari ini. Ia susuri lorong rumah sakit dan segera menuju kamar rawat Joe. Keadaan Joe semakin parah. Sudah hampir seminggu ia kritis. Ternyata tubuhnya hanya kuat menahan penyakit satu setengah tahun saja. Dibukanya pintu kamar tersebut. Terlihat Joe yang dipasangi oleh alat-alat ‘penopang hidupnya’. Gea menarik kursi disisi kanan tempat tidur Joe. Segera dibukanya kue tart Joe. “Hi, Boy! Can you see? I bring a lil’ birthday cake for you. Tadaaa!!”. Tak ada reaksi. Ia melihat monitor jantung disebelah kanannya. Dittt .. dittt .. dittt .. jantungnya lemah. Gea tetap tersenyum. Jujur saja, ia sudah mengikhlaskan bila Joe harus pergi. Secepat apa pun itu. Bukan karna pasrah, tapi ia tahu bahwa sebentar lagi ia akan menyusul Joe. Mereka akan dipertemukan di alam yang lain. Ia mengidap penyakit yang sama, maka ia akan mati dengan cara yang sama.
Kembali ditatapnya Joe yang tetap diam. Ia membuka mulutnya, menyanyikan sebuah lagu. “Happy birthday to you. Happy birthday to you. Happy birthday .. happy birthday ..”. Nafas Gea tertahan sesaat ketika melihat Joe membuka matanya sedikit dan tersenyum tipis. Gea mulai berkaca-kaca. Namun ia tersenyum. Ia tak mau Joe melihatnya dalam keadaan lemah. “Happy birthday brother!”, bersamaan dengan bibir Gea yang selesai bernyanyi, mata itu tertutup, dan senyum itu telah lenyap.
Dddddddiiiiiiiiiiittttttttttttttt …..


Gietatonine.blogspot.com

1 comment: